Dering alarm
ponselku terdengar saat jam digital membentuk angka 04.45. Ya, 04.45 WITA.
Segera ku beranjak dari ranjang untuk menunaikan sholat dan bebersih diri.
Dengan pakaian yang sudah rapi, aku berdiri di beranda rumah. Kuhirup udara
pagi di tanah yang akan kudiami selama beberapa waktu ke depan. Ah, segarnya,
Rote. Dari kejauhan kulihat mutiara-mutiara berbaris rapi, melewati beranda
rumah dan menyapa.
“Selamat pagi!”
katanya keras tapi malu.
“Hei, selamat
pagi!”
Ah tak sabar
rasanya menemui mereka dalam jumlah yang lebih banyak. Hari ini. Pagi ini.
Perjalananku dan teman-teman
dimulai dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer. Inilah Indonesia dari sudut
berbeda dari hari-hariku biasanya. Dan, ya, di sisi kiri dan kananku tampak
mutiara-mutiara itu berjalan beriringan. Kupercepat langkah hingga tiba di
tempat yang kutuju.
SD Negeri Oeseli
Setelah
bersarasehan dengan pihak guru dan kepala sekolah, kami dipersilakan masuk.
“Selamat pagi, Pak
dan Ibu.”
Ah mereka menyapaku
lagi! Ya, mereka, mutiara pelosok negeri. Mutiara pelosok Rote. Merekalah para
siswa sekolah dasar. Para makhluk berpakaian merah putih. Sungguh terharu aku
dibuatnya. Mereka unik, mereka lucu, mereka..ah aku bahkan kehilangan kata!
Rangkaian acara
pertama adalah kelas merah putih yang dikomandoi oleh aku sendiri. Kukenalkan
pada mereka tentang negeri ini, Indonesia tercinta. Tentang betapa kayanya ia.
Kuingatkan mereka pada tanah kelahiran mereka, Rote Ndao. Tentang betapa
seharusnya mereka bangga lahir dari bumi nusa lontar ini. Kutunjukkan pada
mereka tentang siapa itu Soekarno dan Habibie. Tentang bagaimana mereka
seharusnya menjadi lebih hebat dari para bapak pendahulu.
Kukenalkan mereka
pada dinding mimpi. Tentang betapa kekuatan mimpi dapat melahirkan motivasi. Tentang
bagaimana motivasi dapat melahirkan usaha dan semangat untuk menemmukan jati
diri. Tangan-tangan itu mulai menuliskan mimpinya. Mimpi untuk Rote. Mimpi
untuk Indonesia.
Saya ingin jadi
polisi.
Saya ingin jadi
presiden pertama dari Rote.
Saya ingin
memajukan Rote Ndao.
Sungguh luar biasa
cita mereka, seakan melumpuhkan kenyataan bahwa mereka berada di desa yang tak
terjamah listrik dan jauh dari hiruk pikuk kota.
“Ibu, beta punya
rumah memang tak ada listrik, air ju jarang. Tapi beta punya mimpi dekat sekali
dengan beta, ibu!”
Raut-raut wajah itu
tampak bersinar, selayaknya istilah yang kusandangkan untuk mereka. Mutiara,
sebuah benda yang senantiasa bersinar. Tatkala bendera merah putih berukuran
mini dikibarkan dari tangan-tangan kecil mereka, hati ini bergetar.
Bertambah-tambah manakala dinyanyikannya lagu Indonesia Raya disusul lagu
daerah.
Di waktu kemudian
kala aku melewati mereka kembali, mereka menyapaku. Begitu selalu setiap
bertemu.
“Selamat siang, ibu
Visya!” penuh semangat seraya mengangkat tangan. Terharu? Bagaimana tidak?
Padahal aku baru menetap beberapa minggu. Bagaimana jika bertahun-tahun?
Mereka lah mutiara
tersembunyi, yang mulai menampakkan sinarnya walau jauh di dalam sana. Mereka
lah mutiara tersembunyi, yang butuh sentuhan pendidikan untuk dapat jauh lebih
bersinar tak hanya di cangkangnya namun juga di luar sana. Wahai Indonesia,
inilah generasi mudamu yang akan memajukanmu di masa depan kelak!
Suku kami memang
berbeda. Warna kulit kami memang tak sama. Tapi tanah kelahiran menyatukan
kami, Indonesia. Aku belajar dari mereka. Belajar untuk bermimpi dalam
keterbatasan. Belajar untuk bermimpi tanpa batas. Ya, aku belajar.
Semoga kelak mereka menjadi orang orang yang membuat harum negeri ini
BalasHapusaamiin ya Allah..
BalasHapuswah mantap dek :)
BalasHapustetap semangat untuk belajar meskipun jauh dari sarana prasarana menunjang di sekolah,,semua kalian jadi anak yang pintar succes untuk daerah dan bangsa kita.
BalasHapus