![]() |
Tim Ekspedisi Beranda Indonesia di pantai Oeseli |
Terbentang dari barat hingga timur, membujur dari utara
hingga selatan. Diisi lima gugusan pulau besar dan ribuan pulau-pulau kecil,
dari terdalam hingga terluar. Tapal-tapal batas bersinggungan dengan negara
lain yang juga terpikat pada indahnya negeri ini. Indonesia, disebutnya ia
sejak tujuh puluh tahun silam.
Secara umum Indonesia dibagi menjadi dua daerah, barat dan
timur. Pusat pemerintahan yang terletak di barat Indonesia, berdampak pada
sarana dan prasarana yang tersedia. Selain itu juga berdampak pada padatnya
penduduk. Terlalu lama menetap ke barat, terkadang kita lupa menatap ke timur.
Entah itu di bagian utara, selatan atau bahkan paling timur itu sendiri.
Dari Sabang, sampai Merauke.. Dari Sangihe sampai pulau
Rote..
Tiba-tiba terngiang syair lagu yang kerap didengar dalam
sebuah iklan mie instan d televisi. Pada bulan Agustus 2015 kami, para
mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, berkesempatan menginjakkan kaki di pulau
paling selatan Indonesia untuk mengadakan kegiatan penelitian dan pengabdian
masyarakat bernama Ekspedisi Beranda Indonesia. Ya, pulau Rote. Seakan tak
percaya, tapi kenyataan telah berkata. Rote, kami tiba!
Pulau Rote masuk dalam wilayah kabupaten Rote Ndao, terdiri
atas 8 kecamatan. Kecamatan Rote Barat Daya yang kami pilih. Dari beberapa desa
yang ada, desa Oeseli adalah tempat kami tinggal selama dua pekan ke depan. Ternyata
Oeseli merupakan tepian dari pulau Rote.
Kenyataan pertama dari Oeseli kami dapati
dari bapak supir angkot yang mengantar kami dari pelabuhan menuju desa Oeseli.
Beliau bilang, jangan kaget jika menjumpai banyak ‘penghambat’ jalan. Ternyata
yang dimaksud ‘penghambat’ jalan adalah para hewan ternak. Mereka adalah sapi,
kerbau, domba, ayam, kucing, babi dan anjing yang dengan bebeasnya bertengger
di tepi bahkan tengah jalan.
Kenyataan berikutnya adalah selama perjalanan banyak kami
jumpai orang-orang memikul tempat air di sisi kiri dan kanan jalan. Beratnya
air yang menimpa bahu, tak membuat mereka berhenti tersenyum dan saling
menyapa. Hei, ternyata mereka semua wanita dan anak perempuan. Tidak ada
seorangpun pria maupun anak laki di antara mereka. Padahal kami yakin air itu
beratnya bisa sampai berkilo-kilogram. Jadi, dimana mereka?
Tunggu, jangan terburu-buru berpikiran buruk. Ternyata adat
disini yang menyatakan bahwasanya tugas memikul air adalah tugas mutlak seorang
wanita, tak pandang usia. Bukan masalah tega atau tidak, tapi ini tentang adat
yang harus dijaga.
Sesampainya di rumah Pak Desa, begitu sebutan untuk kepala
desa disini, kami disambut oleh istri pak desa yang kami panggil mama, sebutan
untuk para ibu disini. Ketika salah seorang di antara kami hendak buang air,
mama meminta maaf karena air terbatas dan harus ambil di sumur. Kami jadi
teringat pada pemandangan yang kami jumpai di sepanjang jalan tadi. Benar juga,
orang-orang memikul air pasti karena butuh air dan di rumah mereka tidak ada
air. Walaupun secara bahasa oe artinya air, seli artinya terlalu jadi Oeseli
artinya terlalu banyak air namun kenyataannya justru berkebalikan. Itulah
kenyataan ketiga yang kami dapati.
Kenyataan keempat. Tidak menyinggung ras maupun agama,
orang baru terlebih jika ia dari barat Indonesia, mungkin akan berpikir
binatang ternak (re: babi dan anjing) yang dibiarkan hidup di sekitar rumah,
akan mengganggu. Kenyatannya? Tidak sama sekali. Mungkin sedikit dari mereka
akan mendekat pada orang baru tapi sama sekali tidak menyakiti. Meskipun ‘liar’
mereka terpelihara. Hal ini juga berdampak pada para pemiliknya yang menjunjung
tinggi toleransi beragama. Contohnya ketika jam sudah menunjukkan pukul 15.30
WITA, mama justru mengingatkan kami
untuk sholat.
Begitu selesai sholat, mama menyarankan kami untuk bermain
di pantai Oeseli. Dekat dari sini, begitu mama berkata. Namun apa nyatanya?
Sangat jauh, khususnya bagi kami yang terbiasa berkendara kemanapun. Kami harus
berjalan kurang lebih 3km untuk mencapai pantai. Tapi terbayarkan dengan
keindahan pantai Oeseli. Kenyataan yang luar biasa bukan?
Kenyataan terakhir namun bukan paling akhir yang kami
jumpai di awal kedatangan kami adalah dari pantai Oeseli kami bisa naik perahu
motor menyebrang ke pulau Ndana yang masih termasuk dalam kabupaten Rote Ndao,
kecamataN Rote Barat Daya. Pulau Ndana inilah pulau yang sesungguhnya paling
selatan Indonesia namun kurang dikenal karena tidak berpenghuni sehingga
sebagian besar orang mengenal Rote sebagai pulau paling selatan karena adanya
penduduk disini. Pulau Ndana, merupakan pulau perbatasan Indonesia-Australia yang
dijaga ketat oleh TNI AL dan satgas marinir.
Itulah sedikit dari banyaknya kenyataan yang tentunya dapat
dijumpai di pulau Rote khususnya di desa Oeseli. Terimakasih atas keindahanmu,
Rote, menyempurnakan warna warni negeri ini. Masih berpikir Indonesia Timur
menyeramkan? Silakan dipikir ulang.
0 komentar: