sumber: google.com
“Wanita adalah tiang negara.”
Kata-kata
tersebut dikutip dari salah satu hadits dalam Islam. Empat buah kata yang bukan
tanpa makna, bukan pula omong kosong belaka. Empat buah kata yang bermakna
filosofis luar biasa. Empat buah kata yang sudah tak lagi asing di telinga
bangsa Indonesia. Selayaknya yang kita pahami definisi dari tiang yakni
penyangga atau penguat. Begitulah analogi yang diberikan untuk kaum hawa. Sebuah
bangunan tanpa tiang tak akan mampu berdiri kokoh, bahkan mungkin bisa roboh.
Banyak
orang berbicara mengenai emansipasi wanita yang berarti persamaan gender.
Padahal wanita dan laki-laki jelas berbeda. Sama sekali tidak dapat
dipersamakan dalam hal kodrati. Berdasarkan fitrahnya, wanita jelas berbeda
dengan laki-laki. Wanita dianugerahi beberapa hal yang tidak dianugerahkan pada
laki-laki. Air matanya bukanlah merupakan kelemahan, melainkan kekuatannya. Adalah
suatu hal yang kurang lazim jika wanita mengerjakan pekerjaan berat atau kasar
seperti laki-laki. Sebab wanita cenderung menggunakan perasaan dibandingkan
dengan otak. Ya, begitulah wanita dengan segala keunikan, kesederhanaan dan
keistimewaannya.
Berbicara
mengenai wanita, berbicara pula mengenai ibu. Seperti ungkapan salah seorang
tokoh revolusi, Mohammad Hatta :
"Perempuan adalah ibu. Seorang
ibu ibarat sekolah. Apabila kamu siapkan dengan baik, berarti kamu menyiapkan
suatu bangsa yang harum namanya."
Ungkapan
di atas tidaklah berlebihan dalam memuliakan wanita sebagai pembangun
peradaban. Dari rahimnya akan lahir generasi-generasi bangsa. Jika ibunya baik,
niscaya anaknya akan baik pula. Entah akan jadi seperti apa generasi tersebut,
tapi peran wanita sebagai ibu tetap tak dapat dilepaskan. Oleh karenanya,
merupakan suatu kewajiban membina diri ke arah kebaikan, sejak muda, sebelum
terlambat dan menyesal.
Berbicara
mengenai bangsa, berbicara pula mengenai sistem politik dan pemerintahannya. Memang
tak banyak wanita yang turun langsung di bidang politik maupun pemerintahan.
Akan tetapi mereka berperan aktif di belakang layar dalam mendidik putra putri
bangsa. Meski tak dapat dipungkiri di zaman sekarang, semakin banyak
bermunculan para politikus wanita yang menduduki kursi-kursi pemerintahan.
Pada
zaman dahulu kala, begitu maraknya kasus nikah muda di kalangan wanita. Belum
genap berusia seperempat abad, bahkan beberapa ada yang masih berusia belasan,
menikah sudah menjadi putusan mereka. Semata-mata hal tersebut tidak hanya
disebabkan kemauan wanita, akan tetapi lebih kepada asumsi masyarakat awwam
mengenai wanita yang mengharuskan hidupnya berakhir di dapur, bukan sekolah.
Sungguh tragis, padahal baik laki-laki maupun wanita memiliki hak yang sama dalam
memperoleh pendidikan. Terlebih wanita kelak akan menjadi ibu, sebab itulah
penting bagi mereka mengenyam pendidikan sebagai bekal mendidik anak-anaknya.
Di
era modern seperti saat ini, tak sedikit wanita yang sudah menikah memutuskan
untuk menjadi wanita karier. Namun, tak sedikit pula yang menjadi ibu rumah
tangga tulen. Sebetulnya di antara keduanya tidak ada komparasi signifikan yang
mengundang polemik selama mereka mampu mengutamakan keluarganya. Masalahnya
adalah apakah para ibu yang menjadi ibu rumah tangga tersebut dapat menggunakan
waktunya dengan baik?
Kebanyakan
ibu yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, cenderung menghabiskan
waktunya untuk berbincang-bincang atau dalam bahasa yang agak kasar adalah
‘ngerumpi’. Mulai dari urusan dapur hingga apa saja dapat menjadi bahan
perbicangan. Jika memang memutuskan diri menjadi seorang ibu rumah tangga,
jadilah seorang ibu rumah tangga yang cerdas luar dalam.Jangan mau menjadi ibu
rumah tangga yang hanya paham persoalan dapur dan ranjang.
Menduduki
peran sebagai ibu rumah tangga bukan berarti mengakhiri peran di dunia luar. Menduduki
peran sebagai ibu rumah tangga bukan pula berarti menjadikan dapur dan ranjang
sebagai pembatas. Ibu rumah tangga pun dapat turut berkiprah bagi bangsa, dimulai dari
lingkungan sekitarnya. Hal ini pula yang mengilhami menjamurnya industri rumah
tangga yang ditekuni oleh beberapa ibu rumah tangga. Tentunya sebelum terjun ke
dunia industri, mereka harus dibekali berbagai ilmu. Ilmu tersebut bukan
sekedar ilmu menghitung, namun juga ilmu marketing. Pada proses ini, kecerdasan
intelektual seorang ibu diasah kembali.
Tak
hanya industri rumah tangga yang bernilai finansial, namun juga kerap dijumpai
para ibu rumah tangga yang bergerak di bidang sosial. Mereka turut aktif dalam
berbagai organisasi sosial dalam bidang pendidikan, lingkungan, kesehatan dan
sebagainya. Finansial bukanlah tujuan utama mereka. Tujuan mereka tak lain dan
tak bukan adalah untuk kemajuan bangsa. Kegiatan-kegiatan tersebut secara tidak
langsung melatih kecerdasan sosial sebab berkaitan erat dengan hubungan sosial
antar manusia.
Selain
cerdas secara sosial dan intelektual, seorang wanita bergelar ibu pun harus
cerdas spiritual. Kajian agama yang digelar setiap beberapa pekan sekali
menjadi sumber energi spiritual bagi para ibu.
Meski
diliputi banyak aktivitas di luar rumah, namun kebutuhan keluarga menjadi
prioritas utama bagi seorang wanita yang bergelar istri dan ibu tersebut. Akan
menjadi hal yang sia-sia jika urusan eksternal berjalan dengan baik, sementara
urusan internal kacau balau. Dengan ditunjang ketiga kecerdasan di atas yakni
kecerdasan sosial, intelektual dan spiritual, semakin lengkaplah peran seorang
wanita bergelar ibu dalam memajukan bangsa. Hal itu tentu dapat diterapkan
dalam mendidik anak-anak mereka sehingga kelak akan dihasilkan generasi cerdas
dan bermoral. Generasi tersebut kelak akan memimpin tonggak peradaban bangsa.
Jangan
mau menjadi wanita yang biasa-biasa saja, jadilah wanita yang luar biasa.
Jangan mau menjadi wanita yang berlebih-lebihan, jadilah wanita dengan segala
kesederhanannya. Usia, ras, suku, agama bukanlah pembatas untuk berkarya.
Saatnya wanita turut berkontribusi. Saatnya wanita Indonesia berdedikasi. Untuk
kemajuan bangsa, bangsa Indonesia. Majulah wahai, wanita Indonesia! Majulah,
para wanita bergelar ibu!
0 komentar: