Cewek Prikitiw


Misi,” ucapku saat melewati sebarisan Ibu yang sedang saling mencari uban.
Saat itu aku hendak ke rumah Eky untuk memberi adiknya pelajaran tambahan. Ya, meskipun aku masih duduk di kelas XI SMA, tapi aku sudah menjadi guru privat bagi Elena, adik Eky yang duduk di kelas VII SMP, di pelajaran eksakta. Tiba-tiba ponselku bergetar, satu paggilan masuk. Eky.
“Assalammu’alaikum, ya, Ky?” jawabku. “Iya, sebentar lagi aku sampai.” saat melintas di depan sekelompok pemuda. Karena aku sedang berbicara di telepon, aku hanya mnundukkan badan tanpa mengucap “Permisi”.
“Cewek, prikitiw!” salah seorang di antara mereka berusaha menggodaku.
“Ihh, apaan sih!” aku bergidik. “Ah, nggak, Ky. Tadi ada orang iseng gitu.” tukasku begitu Eky mengira aku bergumam padanya.
Aku segera memutuskan telepon begitu tiba di depan rumah Eky.
“Assalammu’alaikum!”
Eky membuka pintu gerbangnya. “Wa’alaikumsalam. Yuk, Fris, masuk.”



Ternyata kemampuan Elena di bidang eksakta tak seperti yang diutarakan Eky. Ia cukup pintar di bidang itu. Hal itu jeals semakin memudahkanku untuk mengajarinya.
 “Kak, lusa aku mau belajar Fisika ya? Soalnya minggu depan amu ulangan.” pinta gadis berkuncir kuda itu.
“Sip!” aku mengacungkan jempolku. “Kakak pulang dulu ya!” aku menyudahi pelajaran hari itu.
 “Makasih ya, Kak!”
“Sama-sama.”
”Hmm, Kak.” panggil Elena.
”Ya?”
”Kakak sejak kapan pakai jilbab dan apa alasnnya?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menarik nafas panjang. ”Sejak satu setengah tahun silam. Alasannya karena kakak ingin menjaga hijab.”
”Apa tuh, Kak?”
Aku pun mulai menjelaskan pengertian hijab pada gadis SMP ini. Sedikit banyak ia pun mulai mengerti. Bahkan ia minta dijelaskan lebih jauh tentang segala hal yang berkaitan dengan Islam.
Mungkin aku berbeda dari teman-teman perempuanku lainnya, yang bergaul dengan lawan jenis, yang tidak mengenal kata “hijab”. Ya, sejeka masuk ROHIS setahun silam, aku banyak mendapat banyak pelajaran seputar dunia keislaman dan dunia kemuslmahan. Aku bukan gadis-gadis lain yang mungkin merasa senang saat ada seorang lak-laki yang mendekatinya. Aku bukan seperti gadis-fasi lain yang lain yang mungkin sudah berulang kali berpacaran.
Seorang muslimah hendaknya dapat menjaga hijab serta izzahnya.
Kalimat dari salah seorang alumni itu selalu terngiang di telingaku. Aku tidak peduli apa kata teman-temanku yang kontra pendapat denganku. Beginilah kehidupan, ada yang pro, tak sedikit pula yang kontra. Yang terpenting adalkah bagaimana aku mampu memeprtahankan prinsipku, bahkan kalau bisa menularkannya pada yang lain.
”Oh, jadi begitu ya, Kak?” ujarnya mengerti. Aku mengangguk.
”Kak, sebenarnya aku juga pengen pakai jilbab.” ungkapnya. ”Tapi aku belum siap.”
”Elena sayang, memakai jilbab itu bukan masalah belum atau sudah siap tapi masalah kewajiban. Kalau memang kamu belum siap, kamu perbanyak pengetahuanmu tentang islam saja dulu. Kakak yakin, dengan begitu kam akan semakin siap.” tuturku.
Elena terseyum. ”Kakak mau kan membagi ilmu seputar islam dan wanita sama aku?”
”Pasti dong!”
”Asyik, makasih ya, Kak!”
”Oke, yuk, sekarang kita keluar.”
Aku dan Elena beranjak menuju ruang tamu.
“Hey, Fris, tumben lama? Mau ku antar pulang?” tawar Eky.
“Nggak usah.” tolakku halus. “Orangtuamu dimana?”
“Mereka mah baru pulang nanti jam 8. Udah hampir magrib lho, lagian aku sekalian mau keluar juga.” Eky tak berhenti menawariku.
Aku lebih baik jalan 10 kilometer daripada boncengan sama non muhrim!
Elena muncul di tengah-tengahku dan Eky. “Percuma kakak nawarin Kak Frista, dia nggak bakal mau.” tuturnya.
 “Lho? kenapa?” Eky kebingungan mendengar penuturan adiknya.
“Kan haram tau bonceng-boncengan sama non muhrim!” jelas gadis itu sok dewasa. “Tadi kan pas lagi les kita sempat sharing gitu soal cewek.”
“Tuh, kamu susah dengar sendiri alasanku kan?” aku mengusap rambut Elena. “Sebaiknya aku pulang sekarang ya.”
Eky masih tak percaya dengan kata-kata Elena. “Oke, makasih ya, Fris.”
You are welcome.”
Eky dan Elena mengantarku sampai depan gerbang. “Assalammu’alaikum!” salamku.
“Wa’alaikumsalam”
---------------

Tanpa banyak berpikir, aku mengambil jalan yang sama dengan jalan berangkat. Dan tanpa diduga pun, sekelompok pemuda itu masih bertengger di tempat yang sama. Aku berusaha bersikap biasa saat melewati mereka.
“Weits, cewek, prikitiw!” lagi-lagi orang yang sama itu menggodaku. Seorang pemuda pemain gitar.
Seketika aku menutup kedua telingaku. “Aku benci kata-kata itu!” Sekelompok pemuda itu keheranan sekaligus tertawa melihat tingkahku. Secepat mungkin aku berlari menjauh.

--------------------

Dua hari setelahnya aku mengambil jalan yang berbeda menuju ke rumah Eky. Kalau saja sebarisan ibu-ibu yang tempo hari ku lewati tidak memberitahu “jalan tikus” ini, tentu aku masih harus mendengar siulan pemuda-pemuda itu.
“Kamu tunggu aja di sini ya, nggak apa-apa kok. Soalnya dia masih di perjalanan pulang.” saran Eky yang kemudian pamit ke kamarnya karena teman lelakinya datang berkunjung.
Rupanya aku datang lebih awal, buktinya Elena belum tiba di rumah. Meski sedikit canggung, aku menunggu di ruang tamu sambil menamatkan novel yang kubeli kemarin.
“Cewek, cewek, prikitiw!” sebuah suara mengangetkanku. Muncullah seorang pemuda dari balik tembok pembatas ruang tamu dan ruang tengah.
Aku menoleh kaget. “Kamu? Ngapain kamu disini? Pengganggu!”
“Pantas lo lama banget ke toilet!” Eky muncul dari dalam kamarnya.
 “Jadi cowok ini temennya Eky?” batinku
“Oia, Fris, kenalin ini temen komplek gue namanya Fandri. Fan, ini Frista, temen sekelas gue sekaligus guru privat adik gue.” Eky membuka perkenalan.
Fandri mengulurkan tangan. “Fandri,” aku hanya membalas dengan anggukan dan senyum terpaksa. Meski bingung, akhirnya Fandri menarik kembali tangannya.
“Eh, kakak udah datang.” sapa Elena yang baru pulang sekolah. “Lho, Kak Eky sama Kak Fandri ngapain dsini? Mau godain Kak Frista ya?” tanyanya dengan nada mengancam.
Belum sempat keduanya berbicara, aku memotong. “Udah yuk, kita mulai sekarang aja lesnya.”
“Oke, Kak! Lelaki dilarang menganggu!” Elena mennggandeng tanganku ke kamarnya.
“Sabar, Bro, Frista emang kayak gitu. Jaga hijab banget. Udah yuk, lanjut browsing!” Eky membimbing Fandri ke kamarnya.
“Hijab? Apaan tuh?” batin Fandri tak mengerti.

----------------------


“PRIKITIW!” sepupu lelakiku, Okan, berteriak persis di telingaku.
Aku menutup telinga. “Aduh, Okan, udah cukup ya, minggu ini hari-hariku dipenuhi dengan kata-kata itu!” aku menggeram
Sebuah SMS masuk ke inbox ku.

From    : Rii Yokusha
Halo, Friska cantik, good nite :)

“Ini pasti Luri eh! Aduh, ngak bosen-bosen tuh anak ya!” tuduhku.
. Pasalnya minggu lalu aku juga pernah mendapat pesan yang sama, sempat ku balas sekali tapi keesokannya Luri mengakui itu akun Facebook  barunya.
 Langsung saja kubalas pesan itu. Tapi betapa kagetnya aku mengetahui ternyata akun itu milik Fandri.
 “Ihh, pasti Eky ngasih tau Fb-ku ke Fandri deh!” tuduhku merasa kesal.
Pesannya pun tak lagi kubalas. Tapi ternyata ia tak berhenti sampai di situ…
-------------------
Aku menghampiri Eky yang tengah duduk di kursi guru saat pagi hari.
“Eky,” pangilku. Yang dipanggil tidak menyahut, larut akan alunan musik dari earphone-nya.
“Eky!” barulah di panggilanku yang kedua ini, dia baru ‘ngeh’ akan kehadiranku.
“Kenapa, Fris?” tanyanya begitu melepas earphone.
“Aku pengen minta tolong kamu soal Fandri.”
“Weits, jangan bilang kamu mulai suka sama dia!” terkanya yang 100% salah. “Dia juga suka banget sama kamu, tau, bahkan sejak pertama kali ngeliat kamu lewat di depan dia. Tancap dah!”
“Ya ampun! Bukan itu. Tempo hari kamu kan udah pernah kukasih tau gimana sikapku ke lawan jenis?”
Eky menepuk dahinya. “Oh iya ya! Trus minta tolong apa dong?”
“Tolong bilang baik-baik sama dia, jangan ganggu aku terus. Jangan SMS, telpon, message FB, pokoknya berhenti mengangguku deh!” tegasku “Lagipula dia pasti tau nomor Hp dan Fb ku darimu ya?” tudingku.
“Iya.” Eky tertawa renyah. “Tapi tenang aja, saya siap melaksankan perintah Bos!” Eky melipat tangan di atas pelipisnya.
“Makasih ya!” aku menarik nafas lega.
Dan benar saja, setelahnya Fandri tidak pernah lagi mengganggu Friska, secara langsung maupun lewat pesan singkat. Hidup Friska kembali tenang dan normal.
------------------------


“Assalammu’alaikum!” Eky mengetuk pintu rumahku.
“Wa’alaikumsalam!” jawabku, membuka pintu. “Eky, ada apa? Lho, itu di belakangmu siap?” aku mulai mencium gelagat yang tidak baik
“Hai, cewek!” Fandri muncul dari belakang Eky.
Aku memasang tampang dingin. “Maaf ya, aku bukan cewek tapi akhwat!”
“Iya, deh, maaf.” Fandri mulai bersikap lebih sopan.
Saking kesalnya, aku sampai lupa mempersilakan keduanya untuk masuk. “Oh iya, masuk dulu deh.”
“Nggak usah, Fris, kita cuma sebantar kok. Aku cuma mau nganter Fandri.” Eky menyikut pinggang Fandri.
“Ini, buatmu.” Fandri menyerahkan sebuah kotak bersampul kado biru dengan tampang kikuk.
“Eh? Dalam rangka apa?” tanyaku curiga.
“Yah, meskipun ultahmu udah lewat, tapi aku cuma mau kasih kenang-kenangan aja. Sekalian minta maaf atas semua kesalahanku.”
“Iya, Fris, aku jamin dia nggak bakal godain kamu lagi. Soalnya mulai besok dia balik ke Bandung.”
“Maksudnya?” aku tak mengerti.
“Sebenarnya aku tinggal dan kuliah di Bandung tapi karena bulan ini aku sedang libur, jadi aku menginap di rumah Tanteku.” jelas Fandri. “Ya udah aku cuma mau ngasih itu doang kok. Diterima ya?” ia kembali menyodorkan hadiahnya.
Dengan malu-malu aku yang paling suka dihadiahi pun menerimanya. “Makasih ya.”
“Oke, kita balik dulu ya!’ pamit Eky.
“Hati-hati ya!”
Eky dan Fandri mengendarai motor masing-masing. Kedunya pun memacu motornya detelah meberikan salam.
Aku memandang kado pemberian Fandri. Ku buka perlahan dan kudapati sebauh bantal LOVE besar berwarna pink. Wah, norak sekali kadonya. Tapi kenapa aku mau saja menerima pemberian dari orang yang tidak cukup ku kenal ini ya? Setidaknya aku kini bisa bernafas lega karena tak ada lagi yang bisa memanggilmu seperti…
“Prikitiw!” Okan berteriak tepat di telingaku.
Aku menutup telinga. “ADUH!” kukejar adikku itu yang berlari ke dalam rumah. “Okan, awas ya, kamu!”
 -TAMAT-


Cerpen ini menjadi juara II Lomba Menulis Cerpen Stania Fair 2011 yang diadakan oleh Keputrian Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

0 komentar: