Si Wanita Tangguh, Marie Curie (versi cerpen ala Visya Al Biruni) part I

“Papa, sedang apa?” tanya seorang gadis kecil pada Ayahnya yang tengah berkutat dengan setumpuk buku di ruang kerjanya.
Gadis itu melingkarkan tangannya di pundak sang Ayah dengan manjanya. Dengan penuh kasih sayang, sang Ayah mengangkat tubuh putrinya lalu mendudukkannya di pangkuannya.  Belum sempat sang Ayah menjawb pertanyannya, gadis itu kembali mencecar. “Papa,  Sorbonne itu seperti apa?
Pertanyaan  itu mengalir begitu saja dari mulut gadis berusia 8 tahun. Di usianya saat itu ia sudah duduk di bangku kelas 5 SD. Ya, Maria Sklowdoska adalah seorang anak yang cerdas.  Sebagai anak dari sepasang guru SMA, Maria sangat beruntung. Orangtuanya begitu memperhatikan pendidikannya. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, orangtuanya menyekolahkannya di sekolah lokal.
“Sorbonne itu kota yang indah.” Jawab sang ayah singkat.
“Suatu hari nanti aku ingin pergi kesana. Aku ingin belajar disana.” Sungguh sebuah kalimat luar biasa jika dituturkan oleh gadis seusianya.
Kebahagiaan berturut-turut meliputi  dirinya juga kedua kakaknya, Bronya dan Zoshia. Namun perlahan-lahan kebahagiaan itu berguguran seiring berjalannya waktu. Kakak tertuanya, Zoshi, terserang tipus. Sayang sekali karena penanganan yang begitu terlambat, Zoshia terpaksa menghembuskan nafas terakhir  di tempat tidurnya. Bronya menjadi orang yang paling terpuruk atas kematian sang kakak.
Dua tahun sejak kematian Zoshi, sang ibu terserang penyakit TBC. Di saat yang bersamaan sang ayah dipecat dari profesinya sebagai guru di sebuah SMA. Jelas hal itu membuat finansial mereka melemah. Ketiadaan biaya membuat sang ibu mendapat penanganan yang minim. Dunia sungguh kejam, kedua kalinya Maria kehilangan anggota keluarganya. Kali ini adalah sang ibu yang paling dekat dengannya.


“Pa, Maria mau Mama kembali.” Maria menarik ujung baju sang ayah saat pemakaman sedang berlangsung.
“Kak, Maria mau Mama kembali.” Kali ini giliran Bronya yang dicecarnya. Bronya mendekap erat sang adik.
Meski sulit, perlahan Maria kecil mulai menerima kematian sang ibu. Ia tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan cerdas. Di usianya yang menginjak angka 14, ia sudah duduk di tahun terakhir di SMA, bersamaan dengan sang kakak yang bebeda dua tahun dengannya.
“Bronya, Maria, Papa ingin bicara.” tiba-tiba Ayah muncul dari balik kamar Bronya. Saat itu Maria dan Bronya tengah belajar bersama.
Mau tak mau mereka menghentikan aktivitas mereka dan mengikuti sang ayah menuju ruang tamu.
Sang ayah berdehem sejenak. “Sebenarnya sulit bagi Papa, tapi Papa harus katakan. Papa tidak bisa membiayai biaya kuliha kalian sekaligus. Maafkan Papa, Nak.” tampak penyesalan di wajah sang ayah.
Bronya dan Maria saling menatap. Seketika mereka bingun hendak berbicara apa. Namun kemudia Maria angkat bicara.
“Baiklah, Papa. Karena aku yang paling muda, biarlah Kak Bronya yang kuliha terlebih dahulu. Aku bisa menabung dahulu, dengan bekerja misalnya.”
“Maria..” Bronya terperangah.
“Aku tahu Kak Bronya pun ingin kuliah di Sorbonne. Kakak akan mendapatkan kesempatan itu tahun ini.”
“Tapi, Maria..” ucapan sang ayah tertahan.
“Tunggu, aku mau mengambil sesuatu.” Maria bernajak emnuju kamarnya lalu kembali membwa sesuatu. Sebuah celengan berbentuk boneka.
Diberikannya celengan itu pada Bronya. “Ini untuk membantu biaya kuliah kakak. Mungkin isinya tak seberapa. Tapi hanya ini yang dapat kuberikan. Kumohon terimalah.” Ucapnya seraya tersenyum tulus.
Bronya tampak terharu, begitupun dengan sang ayah. Keduanya pun bersamaan memeluk Maria.
“Maafkan Papa telah mengecewakanmu. Papa yakin kalian adalah anak yang cerdas dan kuat. Sungguh, maafkan Papa.”
“Tidak, ini bukan slah Papa. Mungkin Tuhan belum menakdirkanku duduk di bangku kuliah, mengingat usiaku yang masih terlalu muda. Bisa-bisa aku diledek teman-teman.” Canda Maria.
Maria tak bisa berbohong , daLam hatinya masih terbesit keinginan yang besar untuk dpat kuliah di Sorbonne. Tapi kecintaannya pada sang kakak mengalahkan keinginanya. Maria jauh lebih bahagia melihat sang kakak bahagia, dibandingkan dirinya.
#          #             #
Bronya membanting bukunya ke atas lantai. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa. Maria datang dari arah dapur membawakan coklat hangat untuk sang kakak. Diletakkannya coklat hangat itu di atas meja lalu diambilnya buku sang kakak.
“Kak, kenapa?”
“Aku menyerah. Aku tak bisa bahasa Perancis!”
Untuk dapat kuliah di Sorbonne, Bronya harus menguasai bahasa Perancis. Sudah sekian bulan lamanya ia belajar bahasa tersebut secara otodidak, namun ia kerap mengalami kesulitan. Berbeda jauh dengan sang adik yang sudah jauh lebih mahir daripadanya.
“Kakak pasti bisa.” Maria memegang pundak Bronya.
Bronya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menggeleng kuat-kuat.
“Kesempatan itu sudah di depan mata. Apalagi yang kakak tunggu?” ia memberikkan buku sang kakak. “Kakak tidak ingin mengecewakan Papa bukan?”
Bronya terdiam sesaat. Diterimanya buku tersebut. “Iya, kau betul. Aku akan berusaha. Aku pasti bisa!” tekadnya mantap.
Next story here..

0 komentar: