Nanti Kalau Kamu Jadi Guru

Jagoan-jagoan kecilku :)


April 2012


  Sore itu seperti biasa aku melakukan rutinitas di sebuah TPA di daerah Depok sebagai pengajar. Aku tiba disana pukul 14.25. Ternyata sudah ada beberapa anak yang datang padahal pengajian baru dimulai pukul 14.30. Setelah bersalaman dengan Bu Kokom (pembina TPA) dan ibu-ibu yang mengantar anaknya, aku mempersiapkan diri untuk mengajar.

 Satu per satu anak menghampiriku. Aku mulai mengajari mereka membaca iqro dan Al-Qur'an. Semakin lama semakin banyak anak yang datang sementara baru ada aku dan Bu Kokom sebagai pengajar. Biasanya ada 2-3 pengajar yang datang setiap harinya. Syukurlah tak lama salah seorang kakak pengajar, Kak Leni, datang.

  Jumlah anak yang hadir hari itu tak sebanyak biasanya. Tapi tetap saja suasana begitu ramai oleh keceriaan mereka.

  "Kakak, aku bawa buku pelajaran, nanti belajar ya?" ujar Opi, si imut yang sensitif.

  "Oke. Kamu bawa buku apa aja, Dek?"

  "Agama, Matematika, aku bawa semuanya!"

  "Wah bagus. Gimana bahasa Inggrisnya kemarin udah bisa?"

  "Udah dong! Dapet 100"

  "Subhanallah! Matematika gimana?"

  "Hemm, dapet 80."

  "Pintar!"

  Adzan ashar berkumandang, berbondong2 anak2 itu mengambil air wudhu lalu shalat berjamaah. Usai shalat, kelas dipisah antara yang SD dan TK. Kelas SD dipisah kembali menjadi dua kelas. Seperti biasanya aku dapat kelas A untuk mengajarkan hafalan.Sementara itu Kak Leni berada di kelas B untuk mengajakrkan tajwid.

  Di kelas ini hanya ada siswa laki-laki, tak seorang pun siswi perempuan yang masuk. Wah tantangan nih, pikirku. Benar saja selama hafalan, mereka sibuk 'mengaplikasikan' jurus2 terbaru, bahkan ada yang sempat berantem sungguhan. Jujur saja, sebagai orang baru di dunia seperti ini, aku sempat merasa begitu ketakutan.

 "Hayo, yang marah yang kalah, yang ngalah yang menang. Mau menang atau kalah?" rayuku yang sebenarnya panik.

Meski masih menampakkan raut wajah kesal, mereka pun menurut. Kedua siswa laki-laki itu duduk manis begitu kusuruh membaca Al-Qur'an supaya pikiran mereka tenang. Akhirnya aku pun dapat bernafas lega. Saatnya kembali fokus pada siswa lainnya yang sedang menyetor hafalan.

 Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 saatnya anak-anak pulang. Satu per satu dari mereka meninggalkan TPA, tiba-tiba aku teringat Opi. Sudah pulangkah ia? Tak jadikah belajar denganku?

  Seketika aku mendengar suara tangis keras dari teras. Ternyata Opi yang menangis keras seraya menggamit lengan sang Ibu. Hei, ada apa denganmu, Dek?

  Rupanya Opi sedang ngambek karena ia merasa sang ibu tidak lagi peduli padanya.

 "Mama sekarang sibuknya sama adek bayi doang. Opi nggak dipeduliin." matanya nanar.

 Sang ibu pun memeluk Opi dengan penuh kasih sayang.

 "Opi sayang, Mama nggak pernah nyuekin Opi. Mama sayang banget sama Opi. Cuma kondisinya sekarang berbeda. Opi udah punya adik, Opi udah jadi kakak." rayu Bu Kokom.

 "Opi harus sayang sama adik ya, sayang Mama juga." Bu Kokom masih sibuk merayu sementara aku dan Kak Leni hanya mengamati. Maklum masih amatiran.

 "Visya, aku pamit duluan ya. Aku takut ketinggalan kereta." pamit Kak Leni tiba-tiba."Salam ya buat Bu Kokom."

 "Oh, iya, Kak, hati-hati."

 Tinggallah aku sendiri yang mengamati Opi yang masih terus menangis di samping ibunya.

  Setengah jam kemudian Bu Kokom berhasil menasihati Opi."Opi, Opi nggak boleh manja ya, Sayang. Belajar yang rajin biar nanti kalo udah gede, jadi guru kayak Kak Visya ya?"

  Opi hanya mengangguk.

                     # # #


  Di tengah perjalanan mengantarkanku menuju tempat menunggu bis, beliau banyak bercerita tentang sejarah hidupnya yang begitu menginspirasi.

  "Ngajar itu bukan sekedar ngajar baca iqro trus pulang, tapi kita juga kudu paham sama keadaan itu anak. Nah, nanti kalo jadi guru kamu pasti gitu tuh."

  "Kita harus paham misal itu anak lagi ngambek, ada masalah."

  Aku mengangguk pelan. Kalimat itu seolah menjadi pengingatku hari ini dan kelak. Sebuah motivasi yang luar biasa dari seorang wanita yang luar biasa.

"Belajar jadi ibu juga."

Aku terperangah. "Masih jauh, Bu." gumamku yang ternyata didengarnya.

"Jangan salah lho, jadi ibu itu harus dipersiapkan dari sekarang."

Aku hanya tertawa renyah menanggapi. Iya juga sih, batinku.

                          # # #


  Meski baru beberapa bulan mengenal Bu Kokom, seolah aku sudah lama mengenal beliau. Banyak hal yang beliau bagi kepadaku, termasuk sejarah pembangunan TPA yang diberi nama TPA Annur tersebut. Bu Kokom membangun TPA itu bukan tanpa hambatan, banyak fitnah di sekitarnya. Bahkan hampir saja ditutupnya TPA itu karena kondisi tubuhnya yang rentan.

  Teringat dalam benakku, setahun silam aku bercita-cita membangun sebuah sekolah informal dengan seseorang. Entah orang itu masih mengingatnya atau tidak. Tapi yang jelas aku akan mewujudkannya sendiri, membangun sebuah TPA dengan tetes peluhku sendiri. Aku seolah membayangkan kondisi ku beberapa tahun lagi yang sepertinya tak jauh berbeda dgn beliau, seorang wanita yang lemah fisik tapi bermental  tangguh. Seorang wanita yang mengabdikan hidupnya demi TPA nya, demi pendidikan, demi anak2. Ya, semoga saja.

@Istana Biruku

~teringat mereka, malaikat2 kecilku~

-Ditulis untuk mengikuti lomba blog Sampoerna School of Education 2012 dengan tema 'Menjadi Pendidik'-

 

2 komentar:

  1. woaaaa seru banget ya bisa ngajar anak anak di TPA. pasti berasa muda terus deh :))
    ciyeee belajar jadi ibu, huahaha tapi bener juga sih. karna kalau kita jadi ibu, masalahnya nggak jauh beda sm yg di hadapi para guru. bukan begitu? :D
    *CMIIW
    kak request tulisannya warna hijau muda kelihatan silau banget kalau bagroundnya putih begitu :3

    BalasHapus
  2. Iya, ini udah diubah jadi item..hhi . Makasih banget saranny :D

    BalasHapus