Ketika Covid19 "Menyapa" dan Hidupku Tak Lagi Sama

  

Survivor Covid19


Bismillahirrahmanirrahim.. Menerima kenyataan bahwa suami POSITIF Covid19 bukan hal yg mudah. Aku sempat denial, bahkan ketika hasil swab jelas tertulis POSITIF. Tidak pernah dan tidak pernah membayangkan bahwa virus ini akan benar-benar masuk dalam keluarga kami!


Keluarga kami adalah keluarga pejalan, gemar bepergian menjelajah, setidaknya setiap libur panjang. Apalagi sejak kehadiran Cham, kami bersepakat mengenalkannya pada keindahan Indonesia dan orang-orangnya, lewat traveling. Tapi kemudian Corona datang! 

Perjalanan ke Palu (2019)


Hingga akhirnya kami harus menahan segala hasrat. Hampir setahun kami #dirumahaja. Menahan diri tidak traveling, tidak staycation, tidak makan di luar, tidak ke tempat rekreasi terdekat sekalipun. Hingga rasanya aku "mati rasa". Aku, si pejalan, sampai pernah berada, di titik tidak berhasrat jalan-jalan. Ya, meskipun keinginan itu mencuat kembali di bulan November.

Tapi kami bisa apa? Mengingat virus itu masih ada dan kami punya balita, buru-buru mengubur keinginan.

Tapi tentunya atas segala upaya, ada yang menggariskan apakah pada akhirnya kita terinfeksi atau tidak. Kun fayakun, qadarallah wa masya'a fa'ala.. Kalo Allah sudah berkehendak, apa mau dikata?

Hidupku Tak Lagi Sama (Sementara)

Sore itu, hasil swab test kami keluar. Aku dan Cham negative. Sedangkan suami? POSITIF. Sejak itulah kehidupanku tak lagi sama, setidaknya untuk sementara waktu. Virus itu benar-benar ada, jelas! Meski fisiknya tak kasat mata.

Dengan segera, masih dalam keadaan belum fit, suami pergi isolasi mandiri.

Kalian pernah lihat berita seorang dokter sekaligus ayah terinfeksi Covid19 dan hanya bisa menyapa keluaganya dari depan gerbang? Atau seorang ayah memeluk anaknya yang terinfeksi Covid19 dan diselimuti plastik di sekujur tubuhnya? Pemandangan serupa itu akhirnya aku dapati di rumahku sendiri!

Sebelum benar-benar keluar, Cham mendatangi ayahnya. Cham yang sejak pandemi ini 100% punya lebih banyak waktu bersama ayah dan gemar mengikuti kemanapun ayahnya pergi akhirnya bertanya,

"Ayah mau kemana?"

Cham berdiri jauh dari ayahnya. Sejak bergejala, suami memang menyuruh Cham tidak dekat-dekat dengannya. 

Aku yang tidak terbiasa dengan adegan dramatis memilih menyibukkan diri. Meski begitu aku bisa merasakan jeda, jeda yang membuat dia menarik nafas untuk memberi jawaban. 

"Cham, ayah sakit. Ayah mau berobat dulu, ya. Cham di rumah sama Bunda. Nanti ayah sembuh, kita main lagi ya."

Duh, bahkan sekadar mengetikkan kalimat-kalimat di atas, air mataku meleleh :')

"Oh.." Cham menjawab dengan nada khasnya. 

Tidak ada perlukan, kecupan tangan dan sentuhan fisik lainnya. Bahkan kami bermasker sehingga hanya mata yang terlihat. Mata yang seolah menyiratkan, aku tak tahu kapan akan pulang tapi pasti pulang.

Dulu sebelum pandemi datang, suami sering bepergian dinas dan aku selalu "mengungsi" ke rumah orangtua yang berbeda kota. Aku selalu menolak jika suami menyarankanku mencoba tinggal berdua dengan Cham. Untunglah dia tidak memaksa.

Tapi sejak hari itu, aku menjalani hari berdua dengan anakku saja, sesuatu hal yang dulu pantang aku lakukan. 


Aku harus tangguh dan kuat terutama di depan anakku. Aku harus menyiapkan stok sabar lebih banyak dan lebih lama. Aku harus terbiasa tidak bertanya-tanya pukul berapa suami pulang. Ini hanya sementara, semoga.

 

Beban Psikis Inner Circle Survivor Covid

Butuh waktu sepekan buat aku berdamai dengan keadaan dan menceritakan ke orang lain. Banyak pembelajaran dari kehadirannya di tengah keluarga kami. Bukan sekadar fisik, tapi juga "beban psikis". 

Aku tinggal di wilayah perkampungan, bukan komplek. Dan bebas psikis itu sedikit banyak mulai terasa. Aku tidak bermaksud menjustifikasi, perkampungan begini begitu. Tapi inilah yang aku rasakan..

Meskipun suamiku sendiri justru selow. Atau karena dia lelaki? Ah, dasar perempuan :D  Tapi baguslah, para survivor memang harus selalu bahagia agar si Cori lekas minggat! 

Aku cuma mau menegaskan TERINFEKSI COVID19 BUKANLAH AIB! Baik untuk si penderita maupun inner circle-nya. Tentu tidak ada orang yang mengharapkan akan terinfeksi, bukan? Ini TakdirNya.

Ketika Covid19 menyapa, hidupku tak lagi sama, setidaknya sementara.. aku harus bisa hidup berdua saja dengan anakku. 

Ketika Covid19 menyapa, hidupku tak lagi sama, setidaknya sementara.. aku harus bersabar dengan beban psikis yang kuterima..


Sekilas  Pesan

Pesan dariku, ketika mendapati orang yang kita kenal atau bahkan tetangga terinfeksi Covid19, rangkullah penderita dan atau keluarganya. Menjaga jarak tetap harus, tapi jangan sampai kita kehilangan empati. Bahkan untuk sekadar "basa-basi". :') Eh tapi basa-basi nya juga sebaiknya tulus ya :D

Para survivor dan inner circlenya, bukan butuh dikasihani, melainkan sekadar ditunjukkan apa itu empati.

Meskipun sempat denial, tapi aku tidak pernah menyesali keputusan kami untuk #dirumahaja dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Mencoba berpikir positif, barangkali kalau kita tidak patuh protokol kesehatan, dia akan lebih cepat datang. Sekaligus bersyukur, aku dan Cham masih terhindar darinya dan semoga selamanya sampai ia benar-benar enyah.

Virus yang berhasil membunuh ribuan orang hingga detik ini dan menginfeksi ratusan ribu orang tersebut benar-benar ada. Bukan soal diri kita saja tapi juga orang-orang di sekeliling yang harus dijaga. 

Untuk kalian para survivor, maupun inner circle survivor Covid19, tetaplah berpikir positif. Itu kuncinya. 

Jangan merasa aib atau underestimate! Yakinlah PASTI ada hikmah kenapa akhirnya Allah memilih kalian atau keluarga kalian. 

Insya Allah masih banyak yang peduli & berempati. Walau ada pula yang tidak (atau belum?). 

Jika merasa ada tekanan batin, jangan ragu mencari teman cerita atau bahkan bantuan ahli. 

Mari bergandengan tangan dan saling menguatkan!

Mematuhi protokol kesehatan memang bukan jaminan tapi sesuatu yang HARUS DIUPAYAKAN.  Kita sedang berperang dengan sesuatu yang "tak kasat mata", semoga kita mampu bertahan!


PS: postingan selengkapnya soal hikmah dari kehadiran Covid19 akan aku posting di postingan berbeda

2 komentar:

  1. Membaca ini rasanya aku ingin memelukmu Visyaaa 🤗
    Stay strong ya. I know how it feels. Sometimes utk beberapa org, bagi yg Covid survivor itu merupakan aib, padahal bukan ya. Belum lg kita hrs berjuang utk psikis anak kita, ditambah lg anggapan orang² ya.
    Tetap kuat ya, stay positif. walapun berat tapi ingatlah badai pasti berlalu. Insyallah semua bisa dimudahkan ya. Amii .

    Thank you for sharing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Oline... Makasih banyaak :')
      Yess keep strong!

      Hapus