Jagoan-jagoan kecilku :) |
Nanti Kalau Kamu Jadi Guru
-Ditulis untuk mengikuti lomba blog Sampoerna School of Education 2012 dengan tema 'Menjadi Pendidik'-
Murid Kecilku yang Tangguh
Kamis, 19 April 2012
Mujahidah-mujahidah cilikku :D |
Jumat sore itu aku tengah bertilawah di masjid fakultas saat sesosok malaikat kecil tiba-tiba saja memelukku lalu duduk di pangkuanku. Malaikat kecil itu bernama Syifa.
"Kakak, ayo ngaji!" ucapnya, bermanja-manja denganku.
Tak lama, disusul beberapa malaikat-malaikat kecilku lainnya. Mereka menyalamiku satu per satu. Hari itu jadwal TPA seperti biasanya.Selain mengajar di TPA Annur, aku juga mengajar di TPA MUA di masjid fakultasku
Oh ya, perkenalkan, mereka adalah murid-murid kecilku di TPA MUA. Ada Zaki yang jahil tapi penyayang, Siti yang imut, Syifa si hitam manis, Wulan yang bawel tapi lucu, Icha si pendiam tapi rajin dan Dai si caper tapi kocak.
Pengajian hari itu diawali dengan membaca al fatihah dan doa sebelum belajar. Dilanjutkan dengan membaca iqro satu per satu. Icha sudah bersiap dengan iqronya duduk di depanku tapi Syifa mencegahnya.
"Kan aku duluan tadi."
Terpaksa aku melerai dengan mendahulukan Syifa yang memang sudah buat 'janji' denganku.
Selain aku, ada juga Kak Fitri dan Kak Pushe yang menjadi pengajar sore itu. Setelah setiap anak sudah membaca iqro, saatnya belajar. Belajar yang dimaksud di sini bukanlah mempelajari materi, melainkan menggambar, mewarnai ataupun menonton video. Maklum saja, usia mereka masih terbilang cukup dini.
"Kak Visya, gambarin ini." Icha memintaku menggambarkannya seorang putri Salju, tokoh favoritku.
Usai menggambar, aku menghampiri Syifa. "Syifa kok diam aja? Mau mewarnai juga?"
Syifa menggeleng.
"Berhitung? Atau menulis?"
Lagi-lagi ia menggeleng lalu menghampiri Zaki yang sedang asyik mewarnai.
Siti sibuk mewarnai ditemani Kak Pushe, Wulan ditemani Kak Fitri. Aku memutuskan untuk menemani Icha. Lama-lama seperti biasa aku malah ikut-ikutan mewarnai.
Tiba-tiba Siti muncul, dengan wajah 'marah', ia mengambil crayon Icha sambil menatap Icha dengan tatapan ini-punyaku-mau-apa-kamu, padahal itu krayon Icha. Icha yang sibuk pun cuek-cuek saja.
"Siti, pinjma krayonnya."
Siti menyembunyikan krayon Icha di belakang punggungnya.
"Siti.."rengek Icha.
Aku ambil tindakan. "Siti sayang, Icha pinjem krayonnya yaa."
Akhirnya gadis kecil itu melempar krayon Icha. Icha pun kembali mewarnainya. Sementara Siti berlari keluar.
"Siti!" panggilku. Ia tak menyahut. Terkadang aku memang sulit menangani Siti jika ia sudah seperti itu. Terpaksa Kak Fitri atau Kak Pushe ambil tindakan.
Tak lama Siti pun kembali. Ia menatapku dan Icha. Tiba-tiba ia melemparkan botol minuman kosong tepat mengenai mata Icha. Alhasil gadis kecil itu menangis.
"Ya Allah, Siti!"
Zaki langsung memegangi tangan Siti dengan erat. Kak Fitri berusaha menjauhkan Siti dari Icha. Sementara itu aku berusaha menenagkan Icha yang menangis. Kupeluk tubuh kecilnya. Kuhapus butiran kristal bening yang mengalir dari matanya.
"Sst.. Icha nggak boleh nangis ya. Icha kuat kok.." ucapku dalam pelukan.
Icha tetap menangis.
"Kamu kuat kok, Dek.."
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu hangat melewati cekungan pipiku.
"Kok kakak nangis, Kak?" Icha memperhatikan mataku yang basah.
Aku menyentuh pipiku. Ada butiran air yang mengalir.
"Nggak kok, Dek." kilahku. "Minum, Dek." aku menyodorkan minum ke Icha yang langsung ditegaknya.
Kak Fitri muncul dengan Siti di pangkuannya.
"Ayo, Siti, minta maaf sama Icha."
"Icha, maafin Siti yaa." Kak Fitri mengulurkn tangan Siti tapi Siti tak mau.
"Ayo, Icha juga ya." ucapku. Icha langsung mengulurkn tangannya tapi Siti sama sekali tak menanggapinya.
Dipaksa berkali-kali hasilnya tetap nihil. Aku tak mengerti apa yang terjadi pada Siti.
Aku menangis bukan karena cengeng, meski banyak berkata aku demikian. Aku menangis karena aku terharu dengan sosok Icha yang begitu pemaaf. Disakiti, menangis sejenak lalu memaafkan.
Teman, barangkali itulah pelajaran besar yang bisa kupetik dari sosok kecil yang tangguh itu.Ketika kita merasa terlukai, kita boleh meluapkannya dengan menangis tapi lalu maafkanlah. Tapi itu bukan berarti orang lain bisa melukai kita sebebas mungkin. Jika kita melukai perasaan orang lain, bayangkan jika hal itu menimpa kita!
Bagaimanapun tingkah dan sifat mereka, aku tetap mencintai mereka karenaMu ya Allah. Terimakasih telah menguatkanku dan mengajariku arti memaafkan, Dek.
-Ditulis untuk mengikuti lomba blog Sampoerna School of Education 2012 dengan tema 'Menjadi Pendidik'-
Cerpen Marie Curie Part II
The previous story here..
Beberapa bulan kemudian Bronya berhasil meraih predikat sebagai mahasiswi di Sorbonne. Sementara sang adik ,yang juga lulus di waktu yang sama lewat akselerasi, sibuk mengumpulkan uang dengan bekerja. Mulai dari penjaga toko hingga baby sitter pun dilakoninya demi mencapai cita-citanya berkuliah di Sorbonne. Meski begitu ia tak pernah lupa belajar, bahkan ia kerap meminta sang kakak mengiriminya buku-buku kuliah yang sudah tidak dipakainya.
Malam itu Marie baru saja selesai berkutat dengan buku-bukunya. Kebetulan hari itu ia libur bekerja.
Krek!
Setelah seharian penuh berada di kamar, iapun keluar. Tampak sang ayah sedang mengutak-atik sebuah alat.
"Papa, aku baru saja menamatkan buku yang diberikan Kak Bronya. Di dalamnya bercerita tentang unsur-unsur Kimia yang ada di bumi." ceritanya panjang lebar.
Belum sempat ia melanjutkan ceritanya, tiba-tiba saja tubuh gagah sang ayah ambruk.
"Papa?!" jeritnya terkejut.
Si Wanita Tangguh, Marie Curie (versi cerpen ala Visya Al Biruni) part I
“Papa, sedang apa?” tanya
seorang gadis kecil pada Ayahnya yang tengah berkutat dengan setumpuk buku di
ruang kerjanya.
Gadis itu melingkarkan tangannya
di pundak sang Ayah dengan manjanya. Dengan penuh kasih sayang, sang Ayah
mengangkat tubuh putrinya lalu mendudukkannya di pangkuannya. Belum sempat sang Ayah menjawb pertanyannya,
gadis itu kembali mencecar. “Papa, Sorbonne
itu seperti apa?
Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut gadis
berusia 8 tahun. Di usianya saat itu ia sudah duduk di bangku kelas 5 SD. Ya,
Maria Sklowdoska adalah seorang anak yang cerdas. Sebagai anak dari sepasang guru SMA, Maria
sangat beruntung. Orangtuanya begitu memperhatikan pendidikannya. Sejak duduk
di bangku sekolah dasar, orangtuanya menyekolahkannya di sekolah lokal.
“Sorbonne itu kota yang indah.” Jawab
sang ayah singkat.
“Suatu hari nanti aku ingin
pergi kesana. Aku ingin belajar disana.” Sungguh sebuah kalimat luar biasa jika
dituturkan oleh gadis seusianya.
Kebahagiaan berturut-turut
meliputi dirinya juga kedua kakaknya,
Bronya dan Zoshia. Namun perlahan-lahan kebahagiaan itu berguguran seiring
berjalannya waktu. Kakak tertuanya, Zoshi, terserang tipus. Sayang sekali
karena penanganan yang begitu terlambat, Zoshia terpaksa menghembuskan nafas
terakhir di tempat tidurnya. Bronya
menjadi orang yang paling terpuruk atas kematian sang kakak.
Dua tahun sejak kematian Zoshi,
sang ibu terserang penyakit TBC. Di saat yang bersamaan sang ayah dipecat dari
profesinya sebagai guru di sebuah SMA. Jelas hal itu membuat finansial mereka
melemah. Ketiadaan biaya membuat sang ibu mendapat penanganan yang minim. Dunia
sungguh kejam, kedua kalinya Maria kehilangan anggota keluarganya. Kali ini
adalah sang ibu yang paling dekat dengannya.
Goretan Jelang Rehat
Ingat banget, kalo dulu zamannya sekolah hampir setiap minggu seorang
Visya bikin catatan backpacking. Tapi sejak kuliah? Hiks, jadi
berkurang.
Well, kontraversi mengenai hobi backpacking-ku emang ada. Entah
bermaksud peduli atau care atau menjudge, tapi ambil sisi positifnya
aja. Akhwat Backpacker, why not? Selama bisa menjaga diri, selama di
jalan pokoknya harus dzikiran, tilawahan atau sejenisnya. Jangan diem
aja, ntar dikira patung nyangsang, hhe .
Eits, tapi jangan salah kira, aku juga nggak betah banget
berlama-lama di luar rumah!
Langganan:
Postingan (Atom)