Sekolah adalah rumah kedua bagi seorang anak. Bayangkan, setidaknya 4-8 jam dihabiskan anak di sekolah. Tentu tergantung dari grade anak. Semakin tunggi kelasnya, semakin banyak qaktu yang dihabiskan di sekolah. Maka sudah selayaknya sekolah menajdi tempat yang menyenangkan bagi anak.
Tapi nyatanya di Indonesia masih banyak anak merasa "Sekolahku Nerakaku". Mengapa? Tentu ada banyak sebab di baliknya. Salah satunya adalah aenioritas di sekolah, khususnya SMP-SMA.
Untuk itulah muncul istilah Sekolah Ramah Anak. Apa itu Sekolah Ramah Anak?
Yakni sekolah yang memperhatikan kebutuhan anak/siswa, tanpa menimbulkan kecemasan daa ketakutan pada diri siswa. Kali ini saya mau berbagi pengalaman seorang kepala sekolah yang menerapkan Seklah Ramah Anak di sekolahnya. Beliau adalah Ibu Ratna Budiarti yang kini menjabat Kepala sebuah SMA di Jakarta.
Berawa pada tahun 2014 saat masih menjadi kepala SMA 29 Jakarta beliau bersmaa komponen gurh dan orangtua menjamah wilayah 'hitam' yakni tempat sering terjadinya perundungan (bullying) hingga akhirnya terwujud sekolah Ramah Anak. Prestasi itu membuat SMA 29 dikunjungi menteri pendidikan dari negara lain.
Kemudian pada 2015, beliau dimutasi ke SMA lain yang terkenal penuh konflik dan berita negatif. Bagaimana tidak? Sebelumnya setidaknya 4 kepsek dimutasi. Beragam kasus hadir seperti munculnya peraturan kakak kelas yang melarang para junior menikmati fasilitas tertentu, bahkan hingga aksi kekerasan. Orangtua umumnya tidak tahu, karena anak tak berani melapor. Kalaupun ada orangtua yang tahu, kebanyakan mereka memilih bungkam karena ingin anaknya tetap bersekolah di SMA unggulan tersebut.
Beliau berpikir, tugas utamanya adalah MEMUTUS mata rantai senioritas. Lantas apa yang dilakukan pertama kali? Membuat deklarasi bersama semua pihak yang terdiri dari guru, staf/karyawan dan orangtua murid untuk melawan perundungan.
52 komentar: