The previous story here..
Beberapa bulan kemudian Bronya berhasil meraih predikat sebagai
mahasiswi di Sorbonne. Sementara sang adik ,yang juga lulus di waktu
yang sama lewat akselerasi, sibuk mengumpulkan uang dengan bekerja.
Mulai dari penjaga toko hingga baby sitter pun dilakoninya demi mencapai
cita-citanya berkuliah di Sorbonne. Meski begitu ia tak pernah lupa
belajar, bahkan ia kerap meminta sang kakak mengiriminya buku-buku
kuliah yang sudah tidak dipakainya.
Malam itu Marie baru saja selesai berkutat dengan buku-bukunya. Kebetulan hari itu ia libur bekerja.
Krek!
Setelah seharian penuh berada di kamar, iapun keluar. Tampak sang ayah sedang mengutak-atik sebuah alat.
"Papa,
aku baru saja menamatkan buku yang diberikan Kak Bronya. Di dalamnya
bercerita tentang unsur-unsur Kimia yang ada di bumi." ceritanya panjang
lebar.
Belum sempat ia melanjutkan ceritanya, tiba-tiba saja tubuh gagah sang ayah ambruk.
"Papa?!" jeritnya terkejut.
Diperiksanya denyut nadi nadi sang ayah, tak bergerak. Detak jantungnya pun melemah lalu sama sekali tak bergerak.
"Papa..." lirihnya, nyaris tanpa suara.
Ini
adalah pukulan kedua yang terhebat setelah kematian ibunya. Tapi Marie
adalah wanita yang kuat. Dalam hati ia berjanji akan membanggakan kedua
orangtuanya.
“Mama, Papa, aku berjanji akan mempersembahkan
sesuatu yang membanggakan untuk kalian.” ucapnya di depan batu nisa sang
ayah dan sang ibu yang berdampingan.
Tak seorangpun yang
mengira bahwa ‘persembahan’ itu bukanlah persembahan biasa. Tak
seorangpun yang tahu apa yang dimaksud dengan ‘persembahan’ itu. Namun
yang jelas kini Maria benar-benar sebatang kara di Polandia. Ia tak
punya siapapun di negara ini.
, Bronya mengajaknya pindah ke Sorbonne.
“Maria,
aku punya berita baik untukmu.” Ungkapnya usai pemakaman sang ayah.
“Uang tabunganku hampir cukup untuk membiayai kuliahmu di Sorbonne.”
Maria terperanjat. “Benarkah, Kak? Kalau begitu, gabungkan saja dengan uang tabunganku, pasti cukup.”
Bronya tersenyum. “Ya. Selain itu, aku punya sebuah berita baik lagi.” Ucapnya menggantung.
Maria menatap sang kakak lekat-lekat
“Aku dilamar oleh seorang doktor. Ia pemuda yang baik. Bulan depan kami akan menikah.”
Untuk kedua kalinya Maria terperanjat. Dipeluknya sang kakak dengan penuh kebahagiaan.
“Aku sungguh bahagia, Kak.”
“Ya. Tapi sayang Papa tak bisa melihatku mengenakan gaun pengantin.” Bronya terdiam. Tiba-tiba air matanya mengalir.
Maria menghapusnya perlahan.
“Kakakku sayang, meskipun Papa, Mama dan Kak Frans telah mendahului kita, aku yakin mereka begitu bangga padamu.”
Bronya mengangguk. “Aku hanya punya kamu. Kumohon jangan tinggalkan aku.”
“Aku, Tuhan dan calon suamimu tentunya.” Ralatnya sambil mengedipkan mata.
Mau
tak mau Bronya tertawa. “Kak, begitu kita tiba di Sorbonne, kau harus
mengenalkanku pada doktor mudamu itu. Wah, pasti menyenangkan sekali
punya kakak ipar yang jenius. Nanti teman diskusiku nambah deh.” Mimik
wajah Maria tampak begitu polos.
Mungkin seharusnya Maria lah
yang menyandang ‘gelar’ kakak. Maria jauh lebih dewasa dan lebih tangguh
daripada aku, batin Bronya.
# # #
Bienvenue à la Sorbonne, Maria!
Rasanya
kalimat itu adalah kalimat pertama yang begaung di telinganya begitu
dirinya menginjakkan kaki di Sorbonne. Pertama kalinya! Maria sungguh
bahagia. Sebulan lalu ia baru saja mengikuti ujian masuk Universitas
Sorbonne. Ketertarikannya pada Fisika sejak kecil membuatnya memilih
jurusan itu untuk gelar S-1 nya. Hasilnya? Tak perlu diragukan,
pengumuman tes menyatakan bahwa Maria berhasil masuk ke jurusan
tersebut. Selangkah lagi impiannya menuntut ilmu di Universitas Sorbonne
akan terwujud. Hari-harinya akan dihabiskan disana. Melalui universitas
itu pulalah ia akan mampu mewujudkan mimipi-mimpinya selanjutnya.
Dua
minggu sebelum masa kuliah dimulai, Bronya melangsungkan pernikahan
sederhananya di sebuah gereja. Sebagai satu-satunya saudara yang
dimiliki Bronya, Maria membantu sang kakak dalam mempersiapkan
segalanya. Orangtua sang doktor begitu ramah pada Bronya dan Maria. Sang
doktor muda pun tak kalah ramahnya.
“Selamat ya, Kakakku sayang.” Maria mencium kedua pipi Bronya yang bersemu merah.
Bronya
tampak begitu anggun dengan gaun putihnya sambil membawa sebuket bunga
Edellweis. Seemntara sang doktor muda, Keddie, tampak gagah dengan
tuxedo putihnya.
“Selamat ya. Kini kau resmi menjadi kakak
iparku dan aku menjadi adik iparmu.” Kali ini giliran Maria memberikan
selamat pada Keddie.
“Terimakasih, Marie.”
“Jaga kakakku baik-baik ya!” pesan Maria pada Keddie.
“Kak, kalau Keddie sampai berani menyakitimu, katakan padaku.” Ujar Marie dengan nada bercanda.
Keddie dan Bronya tampak tertawa renyah. Lesung pipit mereka muncul.
“Tenang saja. Aku siap kau hantam dengan rumus-rumusmu kalau sampai kau tahu aku menyakiti kakakmu.” Balasnya.
Maria mengernyit. “Rumus? Boleh juga.”
“Aku yakin kalian akan menjadi adik dan kakak ipar yang bahagia.” tukas Bronya.
Belum
sempat Maria menanggapi perkataan sang kakak, Bronya dan Keddie harus
kembali ke pelataran untuk prosesi lempar bunga. Sang mempelai wanita
tampak memegang sebuket mawar putih. Perlahan diangkatnya buket itu lalu
dilemparkannya dari belakang ke arah hadirin. Maria yang saat itu hanya
memperhatikan dari kejauhan sungguh tak menyangka sesuatu hal akan
terjadi. Ya, buket mawar putih itu melayang di atas kepalanya. Refleks
saja tangannya menangkap buket itu. Seluruh perhatian hadirin tersita
menatapnya. Oh my God, apakah ini artinya....
Bronya dan Keddie tampak sumringah.
“Lihat, adikmu yang mendapatkannya. Itu berarti tak lama lagi ia akan mengalami hal yang sama denganmu.”
“Ya, dia akan mendapatkan pria yang baik untuknya di Sorbonne.” Bronya tersenyum.
Maria terpaku menatap buket itu. Lama ia terdiam sampai suara MC menyentak imajinasinya.
“Selamat untuk kau, wanita muda bergaun biru.”
Maria
tak percaya takhayul. Tanpa buket ini pun suatu hari nanti ia akan
mendapatkan pria yang baik untuknya. Entah siapa. Entah kapan. Entah
bagaimana caranya. Tapi pasti indah. Ia yakin itu. Dunia Maria yang
sekarang bukanlah dunia roman picisan muda-mudi. Dunianya sekarang
adalah ilmu pengetahuan di Sorbonne!
# # #
Asrama
universitas menjadi pilihan Maria untuk tinggal. Sebenarnya Bronya
sudah berulang kali membujuknya agar mau tinggal di rumah mereka, tak
jauh dari kampus, namun Maria menolaknya dnegan lembut. Maria
mengerti—meski belum pernah merasakan—bagaimana kebahagiaan sepasang
pengantin baru di awal-awal pernikahan mereka. Walau begitu, Bronya
yang masih merasa bertanggungjawab pada sang adik, selalu mengirimkannya
uang bulanan untuk keseharian Maria.
Baru genap dua hari ia
mengikuti masa orientasi kampus, ia sudah memburu berbagai macam buku
dan meminjam buku-buku kakak kelasnya yang sudah dikenalnya sebelum masa
orientasi. Matanya menelusuri kata demi kata dalam buku Modern Physics.
Sesekali jari ejamrinya tampak mencoret-coret kertas di sebelahnya.
Dalam beberapa menit saja ia harus berganti kertas karena penuhnya
coretan di kertas sebelumnya.
Pukul 01.00, Maria menguap. Ia
merasakan kantuk yang amat sangat. Sudah saatnya tubuhnya diberikan
haknya. Ia pun mulai membereskan buku-bukunya, menyimpannya di tempat
yang aman. Angin bertiup cukup kencang, masuk melalui celah jendela
kamarnya. Ditariknya selimutnya rapat-rapat dan ia pun mulai terlelap
dengan berbagai macam teori Fisika yang bergelayutan di otaknya.
Keesokan
harinya, Maria tiba di kampus pagi sekali. Hari ini adalah hari
terakhirnya menjalani masa orientasi. Setelah itu ia akan mulai belajar
selayaknya mahasiswa pada umumnya.
“Saya hitung sampai hitungak ketiga, kalian semua harus sudah berbaris rapi!” seru salah seorang senior.
Tanpa
ba-bi-bu, para mahasiswa baru mengatur diri sedemikian rupa membentuk
barisan yang rapi. Tepat di hitungan ketiga, mereka berhasil
melakukannya. Tak lama kemudian, para mahasiswa baru disuguhka berbagai
macam pertunjukkan kampus dan unjuk gigi dari berbagai macam organisasi
yang ada dalam kampus tersebut. Maria tampak antusias memperhatikan
pertunujukkan dari kelompok peneliti. Mereka menyajikan hasil-hasil
penelitian mereka tentang ilmu alam.
Dalam waktu tidak lebih
dari 60 menit, seluruh pertunjukkan telah dipertontonkan. Kini giliran
para senior selaku panitia orientasi naik ke atas panggung dan
mengucapkan beberapa patah kata guna menutup masa orientasi. Maria
memandang jamnya. Pukul 10.00. Ia teringat janjinya pada salah seorang
senior untuk mengembalikan buku. Tanpa menunggu patahan kata terakhir
dari panitia di atas panggung, ia memutuskan untuk pergi.
“Hei, Maria, mau kemana kau? Acaranya belum selesai.” tegur August, si ikal dari Afrika.
Maria menatapnya sekilas. “Maaf aku ada urusan.” Ia pun berlalu.
Maria
mempercepat langkahnya menuju lobby fakultas. Nafasnya terengah-engah.
Ia meletakkan buku-buku yang dibawanya di atas sebuah meja yang terdekat
dengannya. Setelah berhasil menguasai nafas, ia mengedarkan pandangan
ke sekitar. Namun sosok yang dicrinya tak menampakkan diri.
“Kau mencariku bukan?” suara itu mengejutkannya dari belakang. Suara seorang pria tinggi putih.
Maria tampak tersipu. “Iya. Ini bukumu. Terimakasih banyak.”
Pria itu menerima bukunya lalu berkata. “Oke.”
“Hmm..
Bolehkah aku..” ucapan Maria tertahan, membuat pria itu pensaran.
“Maksudku, bolehkah aku meminjam buku lainnya saat aku butuh?”
Pria itu tertaawa renyah. “Tentu. Tapi tampaknya kita tak akan bertemu lama lagi.”
“Maksudmu?”
“Lupakan.”
“Baiklah.”
Namanya
Lamotte, seorang pria berkebangsaan Kanada yang merantau ke Sorbonne
sejak tiga tahun silam. Maria mengenalnya saat ia tengah mendaftar ulang
di bagian administrasi kampus. Lamotte lah yang menjadi guide ny kala
itu. Mau tak mau mereka banyak bicara tentang berbagai hal, termasuk
minat mereka dalam Fisika. Meski berbeda jenjang, tapi Maria merasa
Lamotte adalah teman yang cocok untuk berdiskusi.
Sayangnya
belakangan Maria merasakan sesuatu yang aneh setiap kali ia bertemu
dengan Lamotte. Ia bahkan tak berni menatap wajah lelaki itu saat
bicara. Jauh berbeda saat pertemuan pertama mereka. Satu hal yang pasti
dirasakan Maria saat bertemu dengan Lamotte, dadanya berdetak sepuluh
kali lebih cepat walau tak secepat neutrino. Bukan hanya itu, saat ia
tak bertemu Lamotte pun bayangan lelaki itu bisa tiba-tiba memenuhi
rongga otaknya. Apa yang sebenarnya dirasakan gadis pendiam ini?
Maria-Lamotte
Physics
Tiba-tiba
pena yang dipegang Maria menuliskan kalimat-kalimat itu tanpa sadar.
Kala itu ia tengah mempelajari bab tentang Partikel. Alih-alih
melanjutkan pelajarannya, ia malah melamun sambil sesekali tersenyum.
Maria tak sadar bahwa ia menuliskan kalimat itu. Terlebih ia pun tak
sadar bahwa ia menuliskan kalimat itu persis di halaman awal buku
Lamotte yang dipinjamnya!
To be continued..
# # #
0 komentar: