Ini memasuki semester ke-empat
masa-masa warna-warni alias dunia kuliahku. Di saat-saat ini aku sedang
merasakan momen-momen penuh semangat, di luar akademik yang mulai kian
menantang; mengikuti beragam konferensi dan kompetisi, bergabung di organisasi
jurusan. Dan tentuny aku mulai terbiasa dengan jalur perjalanan
rumah-kampus-rumah selama 4-5 jam. Tak seperti memasuki semester pertama yang
rasanya sekujur tubuh kerap memberontak. Aku bahagia? Tentu saja.
Yang lebih membahagiakan adalah
bertemu dengan teman-teman sevisi misi di dunia keilmiahan, dunia yang sudah
kucemplungi sejak masa putih abu-abuku. Salah satu dari mereka kupanggil Kak
Fitri, Pendidikan Biologi 2009. Kampus MIPA menjadi tempat mula kami
dipertemukan. Di sini pulalah perjuangan kami di bidang keilmiahan dimulai dan
menjadi saksi olehnya. Saat itu Kak Fitri sudah satu tahun diamanahi sebagai
Ketua Umum Science Club FMIPA. Akupun tercatat sebagai anggota baru disana. Ia menjadi orang terdekatku di MIPA. Seorang
kakak yang selalu menopangku kala lelah, menjadi penguatku kala lemah, menjadi
penyemangat atas segala perjuangan yang sempat ingin kuakhiri...
“Kakak, aku sedih…”
“Kakak tau ga? Tadi aku abis..”
“Kak Fitri kemana aja sih? Kok udah lama kita ga ketemu? Aku kangen..”
Manja? Barangkali iya. Aku nyaman
dengan segala kenyamanan yang diberikannya untukku. Aku seolah tak bisa ‘hidup’
tanpanya. Maksudku, sedikit-sedikit, pengennya curhat dan ketemu.
Pertengahan Tahun 2013
Kak Fitri mengikutsertakan aku
dalam timnya pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), bersama Kak Prima.
Alhamdulillah proposal kami tembus untuk didanai. Kebersamaan pun kian
terjalin. Berbulan-bulan kami lalui dmei merealisasikan prototype produk kami yang
insya Allah hingga detik ini terus bermanfaat.
Bahkan di bulan November 2013
kami kembali mengikuti kompetisi proyek sains. Meski tak lolos nasional, tapi
Alhamdulillah kami dinobatkan sebagai juara favorit DKI Jakarta.
April 2014
Tak puas di dalam negeri, aku
mendaftarkan karya kami pada sbeuah ajang pameran internasional di Malaysia.
Rasanya ingat betul bagaimana perjuangan kami meminta dana kampus dan luar
kampus. Lalu saat kami berperjalanan dari Jakarta ke Malaysia, hari-hari kami
diasan dan hingga kami selamat pulang ke Indonesia membawa medali perunggu
untuk negeri tercinta. Alhamdulillah..
Wah tak terlupakan pengalaman
saat di Malaysia. Sebagai yang paling junior, kurasakan bagaimana Kak Fitri dan
Kak Prima melindungiku engan sangat baik. Ya, aku, yang tak pernah merasakan
aksih saying seorang kakak, hehe. Barangkali itu pula alasanku merasa nyaman
dengan Kak Fitri.
Aku tak mau dia meninggalkanku,
egoku kala itu! L
Aku menjadi semakin manja padanya. Sungguh kuakui itu.
Awal Agustus 2014
Meski sudah cukup lama berteman
dekat, tapi baru kali itu aku main ke rumahnya. Panjang lebar aku bercerita
tentang masalah hidupku. Dan ia lagi-lagi dengan penuh saksama mendengarkanku,
walau saat ityu agak hectic dengan si ganteng keponakannya, hehe. Tapi sepulangnya
dari rumahnya aku merasa begitu lega. Atau lebih tepatnya kelegaan ini karena
sudah kuluapkan kegundahan dan kesedihanku padanya *alah lebay, hehe*.
Benar kan, walau sudah lulus, aku
masih bisa sesuka hati bertemu dan bercerita dengannya. Alhamdulillah…
Ah aku tak bisa—lebih tepatnya
tak pernah—membayangkan bahwa mau tak mau, suka tak suka, sedih tak sedih,
kelak ia akan meninggalkanku. Dalam artian jasadnya akan berpindah ke tempat
lain yang seharusnya, berpindah fase, mungkin begitu. Dan benarlah hal itu
terjadi….
Akhir Agustus 2014
Kabar itu kuterima. Kak Fitri
lolos sebuah program penempatan guru di pelosok. Itu artinya tak kurang dari
1.5 tahun kami akan berpisah. Tak akan lagi bisa kutemui wajah cerianya… Entah
harus bahagia ataukah merasa kehilangan.. Tapi aku merasa takut… Sangat
ketakutan.. Aku takut kehilangan penopang hidupku lewat kakak yang selalu ada
untukku. Kalau ia pergi, lalu aku? Pada siapa aku bersandar? Ya Rabb.. Tapi tak
ingin kulukiskan kesedihan di depannya dan kucoba untuk tersenyum mendengar
kabar itu.
Berkali-kali kucoba kuatkan hati
bahwa jarak bukanlah penghalang, tapi tetap tak bisa. Semua tak akan sama
seperti dulu. Dan memang begitulah kenyataan berkata. Aku tak marah padanya.
Aku tak marah pada siapapun. Tapi aku sungguh merasa kehilangan. Seperti biasa
ketika dalam kondisi begitu, seornag introvert sepertiku hanyalah bisa
meluapkan tangisnya seorang diri dan menyimpannya rapat-rapat…
Oktober 2014
Life must go on. Ada amanah yang
harus dipikul dengan bahagia, tanpa kesedihan. Ada umat yang juga harus
dibahagiakan. Kucoba bangkit. Kak Fitri akan tetap jadi kakak kesayanganku.
Selamanya. Apapun yang terjadi, begitu batinku. Mungkin inilah ujian dariNya.
Allah tahu jika aku terus bersamanya dan tak tahu rasanya ‘ditinggal’, aku akan
jadi adik yang manja, tak pernah belajar jadi kakak yang kuat. Maka inilah saat
terbaikku untuk belajar lebih dewasa dan mandiri.
“Allah akan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan sekedar kamu inginkan. Allah juga akan memberi pengganti untukmu.”
Di bulan ini pula sebuah amanah
besar jatuh ke pundakku. Tak pernah kusangka. Entah akan bagaimana aku
menghadapinya ke depan. Tapi memang Maha Besar Allah, diberikannya aku seorang
teman baru. Teman sevisi misi. Teman seperjalanan yang akan menemai hari-hari
perjuanganku di komunitas ini. Dialah Silmi, seorang wanita yang lagi-lagi jauh
lebih dewasa dariku, baik dari segi usia dan kepribadian. Ialah pengisi
kehidupanku di hari-hari berikutnya.
“Mi, aku mau curhat deh..”
“Mi, lagi dimana? Ketemuan yuk..”
“Mi, makan es krim yuk. Aku lagi
galau nih, haha.”
Di saat itu, di saat teman-teman
seangkatan terdekat di jurusanku mulai sibuk dengan tugas akhir masing-masing,
disitulah Silmi menjadi orang terdepan yang selalu siap menemaniku, begitupun
aku padanya. Beberapa kali aku istirahat sejenak atau bahkan menginap di
kos-nya di waktu-waktu tertentu khususnya jika aku tak kuat pulang malam. Tentu
dengan izin orangtuaku.
Ialah yang menyemangatiku dalam
setiap amanah yang kuemban. Ia dengan segala nasihat bijaknya mampu membuatku
berpikir lebih luas dan tenang. Ia yang paling tahu aku luar dan dalam.
Bersamanya hanya kebersamaan yang
aku ingat. Bahwa aku punya seseorang yang setia. Aku bahagia? Sangat. Namun
lagi-lagi egoku berteriak. Aku tak siap kehilangan Silmi.
Maret 2016
Di bulan ini Silmi wisuda,
menyisakan aku seorang diri. Meski begitu syukurlah ia masih beraktivitas di
sekitar kampus. Walau tak bebas seperti dulu, tapi setidaknya aku masih punya
‘tempat pulang’ di kampus ini. Silmi mengajar di daerah kampus, sementara aku
amsih berjuang dengan tugas akhir dan amanah di komunitas kampus. Ah, aku
semakin terlena dengan kebersamaanku bersama Silmi. Dia sahabat terbaikku. Apa
yang aku miliki, juga miliknya. Begitupun dia padaku. Tak berlebihan kubilang
begitu.
Tapi rupanya lagi-lagi Allah
menunjukkan skenario dahsyatNya padaku…
April 2016
Ia dinyatakan lolos program
pengabdian ke daerah, selama dua tahun. Tahun pertama kuliah S2, tahun kedua
keberangkatan. Program yang sama dengan yang diikuti oleh Kak Fitri, dari lembaga
yang sama pula. Tubuhku mendadak kaku. Mataku mulai berkaca-kaca. Beruntung saat
ia memberitahukan kabar itu via Whatsapp sehingga tak diketahuinya kondisiku.
Aku tahu persis ceritanya dari awal berjuang mengikuti program itu. Aku
mendukungnya, sangat. Tapi rupanya aku belum menyiapkan cukup mental untuk
kondisi seperti ini.
Ketahuilah, Mi, aku bukan tak
bahagia, Aku sangat bahagia. Meski lagi-lagi perasaaan takut menyelimutiku.
Kenyamanan ini membuatku terlena dan mungkin Allah benci sehingga ingin
mengujiku kembali.
Rupanya Silmi bisa membaca raut
ketakutan di wajahku. Dipeluknya tubuhku dan aku menangis sejadi-jadinya… Ya,
hanya di depan dial ah aku berani meluapkan tangisanku, tanpa perlu merasa malu
ataupun takut dianggap lemah. Hanya di depan Silmi.
Mei 2016
Dua bulan lagi Silmi akan masuk
asrama, letaknya cukup jauh dari Jakarta. Di saat-sat itu pula ternyata Allah
mulai mengirimkan sinyal-sinyal kepadaku. Didatangkannya padaku seseorang yang
berniat menikahiku. Setelah melalui sebuah proses, kami bersepakat untuk
menikah, walau aku belum mengenalnya sebelumnya. Waktu tepat pernikahan masih
menajdi bahan perbincangan di kedua belah pihak (kisah selengkapnya ada
disini).
Sempat terpikirkan dalam benakku,
mungkinkah ia yang akan menjadi ‘pengganti’ Silmi mulai semester depan saat
Silmi sudah tak lagi bisa membersamaiku di kota ini? Ada sedikit harap terselip
pada Allah.. Ah, tapi pikiran ini langsung sirna tatkala aku tahu bagaimana
prinsip kedua orangtuaku yang tak mengizinkanku menikah sampai awal tahun
depan..
Juli 2016
Allahuakbar Allah Maha
Membolak-balikkan hati. September 2016 yang kuanggap sebagai awal kehidupan
baru (kehidupan memperjuangkan tugas akhir kembali, hehe) juga dijadikannya
waktu pernikahan kami dari orangtuaku. Itu artinya aku akan melalui semester
berikutnya dengan seseorang abru. Seseorang yang akan membersamaiku seumur
hidup, di kala suka dan duka…
September 2016
Haru biru perasaanku. Tak pernah
kusangka Allah akan mengabulkan doaku. Dihadirkannya ia dalam hidupku sebagai
pengganti orang-orang terdekatku yang ‘pergi’. Aku kian percaya..
Allah akan memberikan pengganti untuk yang telah pergi. Insya Allah yang terbaik..
Kini hampir sebulan sudah
kulalui hidup bersama orang baru ini,
yang ternyata takdir Allah berkata lagi bahwa aku masih bisa dekat dengan
Silmi. Ya, kebetulan kantor suamiku berada di komplek yang sama dengan.
Kontrakan kami pun letaknya dekat dari sana. Meski tak bisa setiap hari berada
disana tapi aku sangat bersyukur. Betapa Allah sangat baik kepadaku dan orang-orang
terdekatku.
Aku percaya, orang-orang baik akan dipertemukan dnegan orang-orang baik, dalam satu lingkaran. Kusebut ia lingkaran kebaikan.
Takdir berikutnya, di awal tahun
2016 Kak Fitri kembali dari penempatan. Dan di bulan yang sama dnegan bulan pernikahanku,
ia melangsungkan pernikahan. Tak kuduga, suaminya adalah teman baik suamiku
yang juga adik tingkatnya selama masa kuliah di Kendari.. Allahuakbar!
Jika kau mengingat bagaimana Allah mengatur hidupmu, tentu hatimu akan meleleh dibuatNya…
Semoga ada hikmah yang bisa
diambil :)
0 komentar: