Akhirnya (Setengah) Aku Berada di Perbatasan RI-Malaysia!


Bismillahirrahmanirrahim..
Setiap manusia berhak untuk menuliskan rencana dan target-target hidupnya. Tapi pada akhirnya Allah lah yang berhak mengedit dan mengeksekusinya di akhir. Sebagaimana yang terjadi dalam hidupku.. Kembali kucoba tuangkan kisah dalam secarik kertas menggunakan tinta-tinta kenangan. Semoga ada hikmah yang terkandung di dalamnya.

Agustus 2016
Pada suatu hari, sekitar dua pekan sebelum pernikahanku, Mbak Ila, Mbak perantara kami, meng-chat-ku.
“Tolong tanyakan Visya, dia lebih suka pergi Nunukan atau NTT?”

Tak perlu waktu lama bagiku mengetahui itu adalah pertanyaan dari kak Andi yang diajukan untukku melalui Mbak Ila. Yap beginilah cara kami berkomunikasi, selain di grup Whatsapp yang diisi olehku, Kak Andi, Mbak Ila dan saudariku. Namun untuk hal-hal yang bersifat privasi biasanya CPP (Calon Pengantin Pria) akan menjapri Mbak Ila untuk diteruskan padaku.

Tunggu.. Mengapa Kak Andi mengajukan pertanyaan ini padaku? Saat itu aku sungguh tak mengerti maksudnya. Meski aku tahu Nunukan dan NTT adalah dua dari beberapa daerah penempatan guru konsultan oleh sebuah NGO di bidang pendidikan. Itupun kuketahui bukan dari ia bercerita langsung, melainkan di tahun 2015, setahun sebelum aku mengenalnya, lewat kenalan-kenalanku yang terlibat di dalamnya. Jadi, apa maksudnya ya?

Tanpa berniat bertanya balik, akupun langsung menjawab.
“Nunukan. Sebatik. Sekolah Tapal Batas.”


Ingatanku langsung melayang saat aku untuk pertama kalinya mendengar nama Sekolah Tapal Batas, di bulan Maret 2015 melalui beberapa teman yang melakukan ekspedisi kesana. Sekolah Tapal Batas terletak di Kabupaten Nunukan, kecamatan Sebatik Tengah (mohon koreksi jika salah), sebuah daerah perbatasan RI-Malaysia. Sebuah sekolah yang digagas oleh seorang wanita inspiratif yang kusapa Umi Suraidah.

Di bulan Oktober 2015 aku menjadi penonton pertama film Sekolah Tapal Batas yang digagas oleh kedua temanku yang juga mengikuti ekspedisi tersebut. Terenyuh? Sudah pasti. Aku ingat kata-kata beliau yang kurang lebih redaksionalnya sebagai berikut.

“Saya sudah tua, harus ada yang menggantikan saya kelak.” ujarnya seraya mencucurkan air mata.
Batinku haru. Terselip harap dalam hatiku saat itu, semoga kelak aku bisa bertemu beliau, bertandang ke sekolah itu. Bahkan membantu beliau mengajar disana.

Tak disangka, di bulan November 2015  Allah memberiku kesempatan bertemu, bercerita bahkan tidur bersama beliau dalam satu kamar.
“Ikut Umi saja ke Sebatik, ikut mengajar disana.”

Sebenarnya dalam hatiku langsung mengiyakan. Aku mau. Sangat mau. Menjadi guru di pelosok negeri adalah mimpiku sejak bertahun silam. Namun sejujurnya aku belum tahu daerah mana yang akan kudatangi. Dan saat itu aku merasa mendapat sebuah kesempatan besar. Sayangnya saat itu kondisiku yang belum lulus membuatku menjawab.
“Tapi saya belum selesai, Umi.”

Dalam hati kutambahkan, “Tapi ajakan umi akan jadi pemantik semangat saya!

Di bulan Februari kudapatkan kabar seorang kawanku menjadi guru konsultan dengan penempatan di Sekolah Tapal Batas. Masya Allah, rencanaNya…

Kembali pada Agustus 2016. Setelah menjawab demikian, Kak Andi kembali membalas.
“Sekitar November, saya akan ada tugas di Nunukan atau NTT. Kalau mau, mungkin Visya bisa ikut.” copas Mbak Ila.

Semoga ya Allah, aku turut mengamini.

Awal November 2016
Alhamdulillah. Ia telah sah menjadi suamiku sejak dua bulan yang lalu. Ia menyampaikan bahwa dirinya akan bertugas di NTT, bukan di Sebatik. Meski aku masih berharap penugasannya di Nunukan, hehe. Sebetulnya ia memiliki wewenang untuk menentukan daerah penugasan dirinya dan anggota timnya yang lain, tapi karena beberapa pertimbangan penugasan di Sebatik diambil alih yang lain. Tak apalah, mungkin memang aku belum ditakdirkan untuk ke Sebatik.

Beberapa hari kemudian ia menginfokan bahwa dirinya juga ditugaskan di Sebatik, menggantikan tim yang berhalangan pergi kesana. Secercah harapan kembali muncul di dadaku. Mimpi untuk bertandang kesana akan segera terwujud, batinku menggebu. Oia qadarallah, kedua guru konsultan yang ditempatkan disana ternyata adalah junior suamiku semasa kuliah S1 dulu. Masya Allah, rencanaNya..

Aku hanya bisa berencana, pada akhirnya Allah yang berkuasa. Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Sebatik aku masih dibuat galau akan ikut atau tidak. Siapkah aku dengan resiko jika aku berangkat? Kalaupun tak jadi berangkat, akankah datang lagi kesempatan yang sama?  Ya Allah..

Bahkan sampai sholat istikhoroh, hehe. Tapi karena beberapa pertimbangan khususnya pertimbangan kondisi fisikku yang sedang tak mendukung, aku memutuskan untuk tidak ikut.

Sedih? Tentu ada. Sejak hari keberangkatan suami, kucoba untuk menelusuri hikmah di balik semua ini. Hingga aku sampai pada sebuah titik.Tidaklah Allah menjalankan rencanaNya tanpa ada hikamh di dalamnya.

"Allah tahu ini yang terbaik buatku. Dan meskipun ragaku tak menjangkaunya, tapi setengah diriku telah menjangkaunya. Ya, setengah diriku adalah kakak, suamiku. Biarlah kakak mewakiliku mewujudkan mimpiku kesana. Sampaikan salamku untuk tanah Sebatik untuk Sekolah Tapal Batas, untuk umi Suraidah. Semoga ada kesempatan kembali untuk kita berdua, bahkan bertiga, bersama kesana.." 

Aku rindu mengabdi. Berada pada kondisi seperti saat ini SAMA SEKALI tak mendefinisikan bahwa aku berhenti total mengabdi. Aku hanya sedang mempersiapkan diri, bersama sang belahan hati. Untuk kembali mengabdi  pada ibu pertiwi. Meski kutahu mengabdi bukan sekedar datang ke pelosok dan mengajar, namun ada berbagai cara yang bisa ditempuh.


Aku menarik nafas panjang. Sungguh rencanaNya sangat indah. Tak pernah kusangkan akan bertemu Umi Suraidah, megenal Sekolah Tapal Batas. Tak pula kusangka akan bersuamikan seseorang yang lingkungannya adalah lingkunganku. Memang benar, jodoh itu “dekat”, mungkin tak dekat dari jarak, tapi dari sisi lain. Wallahu’alam. 


0 komentar: