Edukasi Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas pada Pasien Kusta

 


 

Bicara soal kusta, jujur saja pengetahuanku soal itu sangat sedikit. Aku hanya Thu kusta semacam penyakit kulit yang (katanya) sulit sembuh. Dan pastinya beragam stigma buruk lainnya soal kusta. Beberapa kali membaca artikel teman-teman blogger soal penyakit kusta, barulah pikiranku lebih terbuka. 


Tapi rasanya sayang jika tidak mendengar langsung dari narasumbernya. That's why tempo hari, Kamis 28 April 2022, aku menghadiri webinar yang diadakan oleh radio KBR dengan tema Perawatan Bagi Penderita Kusta. Di kegiatan ini hadir para anrasumber yaitu dr. M. Ruby Machmoed MPH (Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia) & Sierli Natar S.Kep (Wasor TB/Kusta Dinkes Kota Makassar). 


Banyak yang masih menggap tabu kusta terlebih di masyarakat awam, dianggap sebagai kutukan lah, tidak bisa diobati lah dan lain sebagainya. Memang soal stigma masyarakat ini tergolong sulit dikontrol.


Bicara soal angkat secara nasional ada penurunan jumlah penderita kusta walau tidak terlalu signifikan. Sepeti di tahun 2019 ke 2020 ada penurunan angka kasus baru ada penurunan. Secara jumlah kasus paling tinggi di Jawa Timur, disusul Jawa Barat lalu Papua, Jawa Tengah dan Papua Barat secara berturut-turut. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, paling tinggi Papua Barat. Jadi daerah Timur masih mendominasi. 


Demikian pula kusta yang mengakibatkan disabilitas atau cacat, mengalami angka penurunan.

Ya, kusta juga berpotensi menyebabkan kecacacatan terlebih jika tidak ditangani sejak dini dan secara tepat.

Masih adanya stigma buruk dari masyarakat  sehingga membuat pasien takut berobat. Apa yang dilakukan rekan-rekan di Makassar, Bu Sierli? 

Jika ada pasien baru, biasanya pasien mengalami stigma internal terlebih dahulu. Sebagai pihak penanggungjawab, Bu Sierli dan tim memberikan motivasi ke pasien agar dan mengedukasi bahwa penyakit ini penting disembuhkan, bukan karena ada orang iri dan lain sebagainya melainkan kemungkinan karena pernah ada kontak dengan pasien sebelumnya. Sampai akhirnya pendampingan moriil luar biasa membuat pasien mau menerima dan mengikuti pengobatan. 



Lantas, bagaimana proses pengobatan pasien kusta itu sendiri?


Pertama-tama dilakukan pemeriksaan awal dengan tujuan mengetahui ada tidaknya kelainan fungsi syaraf. Jika ada, dilakukan perendaman pada daerah yang mengalami penebalan kemudian menggosok dengan batu apung dilanjutkan dengan minyak kelapa lalu beristirahat. Hal ini harus dilakukan setiap hari, bisa dilakukan mandiri juga. Ini untuk mengurangi atau tidak menambah resiko disabilitas karena kusta. 


Bagaimana mengurangi resiko disabilitas pada kusta? 


Kuncinya adalah 3M; memeriksa, merawat dan melindungi. Ketiganya harus dilakukan setiap hari. Jika ada luka, ditutup dengan kain perca, usahakan pasien bisa melakukan mandiri karena harus dilakukan setiap hari dan gunakan bahan yang ada di rumah. 


Indonesia terus berusaha mengeliminasi angka kusta dan mengedukasi masyarakat soal kusta, penularan dan penanganannya. bagaimana penularan terjadi dan bagaimana mendeteksi dini seseorang tertulari kusta?


Menurut dr. Riby, Eliminasi tidak menjadikan kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat walaupun WHO mencanangkan bukan hanya eliminasi tapi juga tidak ada kasus sama sekali di 2030. Bicara soal gejala dini kusta seperti bercak putih atau kemerahan tidak gatal dan tidak sakit, bisa jadi itu kusta. Kelemahan jari jari tangan, kaki dan tidak bisa menutup rapat. Jika ada gejala di atas sebaiknya segera memeriksakan ke fasilitas kesehatan terdekat.


Pada umumnya pasien yang hanya bercak tidak memeriksakan diri, inilah menjadi challenge tersendiri bagi petugas kesehatan khususnya bagian kusta. Ada salah satu gejala reaksi kusta yaitu demam, bercak putih menjadi hitam merah dan sakit, bagian belakang lutut dan mata kaki sakit. Jangan dianggap reumatik melainkan gejala reaksi kusta.



Bagaimana penularan penyakit kusta? 

Tentunya dari penderita yang belum atau masih tahap pengobatan, menulari orang sehat melalui kontak fisik. 


Apa saja tantangan yang dihadapi Bu Sierli dan tim di lapangan?


Tantangan pertama adalah pasien tidak mau menerima diagnosa. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengubah stigma mereka bahwa penyakit ini tidak berbahaya tapi menular. Kedua, pemahaman para tenaga kesehatan tidak sama soal luas. Ada yang betul memahami sebagian tidak terlalu paham soal kusta termasuk soal durasi penularan yang lama dan penerimaan.


Bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri bagi penderita kusta? Untuk perawatan butuh waktu berapa lama sampai benar benar pulih dan apakah bekasnya bisa hilang ketika sudah sembuh total?  


Di Makassar sendiri, penderita kami libatkan dalam kegiatan untuk melihat potensi dan passion mereka agar bisa mengembangkan skill mereka. Mereka juga diperlakukan sama dengan pasien lama sehingga tidak ada rasa insecurity dan diskriminasi. Perawatan diri tergantung lokasi dan seberapa besar tingkatan efek kusta, mulai dari mati rasa hingga cacat nampak seperti ada luka, kelopak mata tidak bisa menutup dan kaki bengkok.


Untuk penghilangan luka, lakukan sesuai instruksi, bisa jadi seumur hidup. Kalaupun sudah sembuh tapi jika kita melakukan perlindungan, luka bisa muncul kembali atau mengangkat benda panas tanpa alas, bisa muncul kembali. Yang penting adalah mencegah karena pada tahap awal bisa disembuhkan tanpa menyebabkan disabilitas. Selama pengobatan juga dilakukan cek fungsi syaraf. Walaupun sudah selesai minum obat, masih punya risiko disabilitas sehingga tetap melakukan perlindungan dan kontrol minimal per 3 bulan sekali untuk dicek fungsi syaraf selama kurang lebih maksimal 5 tahun. 


0 komentar: