Sore itu seperti biasa aku melakukan rutinitas di sebuah TPA di daerah Depok. Saat aku datang pukul 14.25, ternyata sudah ada beberapa anak yang datang. Padahal pengajian baru dimulai pukul 14.30. Setelah bersalaman dengan Bu Kokom (pembina TPA) dan ibu-ibu yang mengantar anaknya, aku mempersiapkan diri untuk mengajar. Satu per satu anak menghampiriku. Aku mulai mengajari mereka mengaji. Semakin lama semakin
banyak anak yang datang sementara baru ada aku dan
Bu Kokom sebagai pengajar. Bu Kokom asyik berbincang dengan para ibu mengenai anak-anak
mereka. Syukurlah tak lama salah seorang kakak pengajar datang.
Jumlah anak yang hadir hari itu tak sebanyak biasanya. Tapi tetap saja suasana begitu ramai oleh keceriaan
mereka.
"Kakak, aku bawa buku pelajaran, nanti
belajar yah?" ujar Opi, si imut yang cengeng.
"Oke. Kamu bawa buku apa aja, Dek?"
"Agama, Matematika, aku bawa semuanya!"
"wah bagus. Gimana bahasa Inggrisnya kemarin udah
bisa?"
"Udah dong! Dapet 100"
"Subhanallah.. Mtk gimana?"
"Hemm dapet 80."
"Pinter!"
Adzan ashar berkumandang, berbondong2 anak2 itu mengambil air wudhu lalu shalat berjamaah. Usai shalat, kelas dipisah antara yang SD dan TK. yang SD dipisah kembali jadi yang sudah al quran dan masih iqro. Seperti biasanya aku dapat kelas iqro untuk mengajarkan hafalan.
OMG, semuanya anak laki2, yang perempuan tak ada yang masuk. Wah tantangan nih, pikirku. Benar saja selama hafalan, mereka sibuk 'mengaplikasikan' jurus2 terbaru, bahkan ada yang sempat berantem beneran.
"Hayo, yang marah yang kalah, yang ngalah yang menang. Mau menang atau kalah?" rayuku yang sebenarnya panik.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 saatnya anak-anak pulang. Satu per satu dari mereka meninggalkan TPA, tiba-tiba aku teringat Opi. Sudah pulangkah ia? Tak jadikah belajar denganku?
Seketika aku mendengar suara tangis keras dari teras. Ternyata Opi yang menangis keras seraya menggamit lengan sang Ibu. Hei, ada apa denganmu, Dek?
Rupanya Opi sedang ngambek, Bu Kokom sibuk merayu sementara aku dan kakak pengajar hanya mengamati. Maklum masih amatiran. Kakak pengajar itu pamit pulang. Tinggallah aku sendiri yang mengamati Opi yang masih terus menangis di samping ibunya.
Setengah jam kemudian Bu Kokom berhasil menasihati Opi.
"Opi, Opi nggak boleh manja ya, Sayang. Belajar yang rajin biar nanti kalo udah gede, jadi guru kayak Kak Visya ya?"
Opi hanya mengangguk.
Di tengah perjalanan mengantarkanku menuju tempat menunggu bis, beliau banyak bercerita tentang sejarah hidupnya yang begitu menginspirasi.
"Ngajar itu bukan sekedar ngajar baca iqro trus pulang, tapi kita juga kudu paham sama itu anak. Nah, nanti kalo jadi guru kamu pasti gitu tuh."
"Kita harus paham misal itu anak lagi ngambek, ada masalah."
Kalimat itu yg ngena banget buatku. Sebuah motivasi yang luar biasa.
"Belajar jadi ibu juga."
Eh? Kayaknya kalimat yang itu 'masih jauh' deh =.="
Bu Kokom membangun TPA itu bukan tanpa hambatan yang tak sedikit, banyak fitnah di sekitarnya. Bahkan hampir saja ditutupnya TPA itu karena kondisi tubuhnya yang rentan.
Aku teringat, aku pernah punya cita2 membangun sekolah informal dengan seseorang, entah dia masih mengingatnya atau tidak. Tapi yg jelas aku akan mewujudkannya sendiri, membangun sebuah TPA dengan tetes peluhku sendiri.. Aku seolah membayangkan kondisi ku beberapa tahun lagi yang sepertinya tak jauh berbeda dgn beliau, seorang wanita yang lemah fisik tapi tangguh mental yang mengabdikan hidupnya demi TPA nya, demi pendidikan, demi anak2..
Bismillahirrahmanirrahim..
@Istana Biruku
~teringat mereka, malaikat2 kecilku~
banyak anak yang datang sementara baru ada aku dan
Bu Kokom sebagai pengajar. Bu Kokom asyik berbincang dengan para ibu mengenai anak-anak
mereka. Syukurlah tak lama salah seorang kakak pengajar datang.
Jumlah anak yang hadir hari itu tak sebanyak biasanya. Tapi tetap saja suasana begitu ramai oleh keceriaan
mereka.
"Kakak, aku bawa buku pelajaran, nanti
belajar yah?" ujar Opi, si imut yang cengeng.
"Oke. Kamu bawa buku apa aja, Dek?"
"Agama, Matematika, aku bawa semuanya!"
"wah bagus. Gimana bahasa Inggrisnya kemarin udah
bisa?"
"Udah dong! Dapet 100"
"Subhanallah.. Mtk gimana?"
"Hemm dapet 80."
"Pinter!"
Adzan ashar berkumandang, berbondong2 anak2 itu mengambil air wudhu lalu shalat berjamaah. Usai shalat, kelas dipisah antara yang SD dan TK. yang SD dipisah kembali jadi yang sudah al quran dan masih iqro. Seperti biasanya aku dapat kelas iqro untuk mengajarkan hafalan.
OMG, semuanya anak laki2, yang perempuan tak ada yang masuk. Wah tantangan nih, pikirku. Benar saja selama hafalan, mereka sibuk 'mengaplikasikan' jurus2 terbaru, bahkan ada yang sempat berantem beneran.
"Hayo, yang marah yang kalah, yang ngalah yang menang. Mau menang atau kalah?" rayuku yang sebenarnya panik.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 saatnya anak-anak pulang. Satu per satu dari mereka meninggalkan TPA, tiba-tiba aku teringat Opi. Sudah pulangkah ia? Tak jadikah belajar denganku?
Seketika aku mendengar suara tangis keras dari teras. Ternyata Opi yang menangis keras seraya menggamit lengan sang Ibu. Hei, ada apa denganmu, Dek?
Rupanya Opi sedang ngambek, Bu Kokom sibuk merayu sementara aku dan kakak pengajar hanya mengamati. Maklum masih amatiran. Kakak pengajar itu pamit pulang. Tinggallah aku sendiri yang mengamati Opi yang masih terus menangis di samping ibunya.
Setengah jam kemudian Bu Kokom berhasil menasihati Opi.
"Opi, Opi nggak boleh manja ya, Sayang. Belajar yang rajin biar nanti kalo udah gede, jadi guru kayak Kak Visya ya?"
Opi hanya mengangguk.
Di tengah perjalanan mengantarkanku menuju tempat menunggu bis, beliau banyak bercerita tentang sejarah hidupnya yang begitu menginspirasi.
"Ngajar itu bukan sekedar ngajar baca iqro trus pulang, tapi kita juga kudu paham sama itu anak. Nah, nanti kalo jadi guru kamu pasti gitu tuh."
"Kita harus paham misal itu anak lagi ngambek, ada masalah."
Kalimat itu yg ngena banget buatku. Sebuah motivasi yang luar biasa.
"Belajar jadi ibu juga."
Eh? Kayaknya kalimat yang itu 'masih jauh' deh =.="
Bu Kokom membangun TPA itu bukan tanpa hambatan yang tak sedikit, banyak fitnah di sekitarnya. Bahkan hampir saja ditutupnya TPA itu karena kondisi tubuhnya yang rentan.
Aku teringat, aku pernah punya cita2 membangun sekolah informal dengan seseorang, entah dia masih mengingatnya atau tidak. Tapi yg jelas aku akan mewujudkannya sendiri, membangun sebuah TPA dengan tetes peluhku sendiri.. Aku seolah membayangkan kondisi ku beberapa tahun lagi yang sepertinya tak jauh berbeda dgn beliau, seorang wanita yang lemah fisik tapi tangguh mental yang mengabdikan hidupnya demi TPA nya, demi pendidikan, demi anak2..
Bismillahirrahmanirrahim..
@Istana Biruku
~teringat mereka, malaikat2 kecilku~
0 komentar: