![]() |
Tergelitik
oleh sebuah pertanyaan di salah satu lomba blog ‘Apa yang bikin kamu pengen ke
Jambi?’. Jambi, sebuah kota yang belum pernah kusambangi sama sekali.
Sebenarnya ada apa sih di Jambi? Sebuah rasa penasaran itu mencuat. Berbagai
usaha pun kulakukan guna menuntaskan keingintahuanku, mulai dari membaca
berbagai macam literatur terkait hingga mewawancarai dua orang teman yang
tinggal di Jambi. Inilah sekelumit jawaban atas pertanyaan ‘Apa yang bikin kamu
pengen ke Jambi?’
Jambi?
Sebuah kota yang masih tampak sangat asing di telingaku. Sebuah kota yang
bahkan mulanya tak pernah kutahu persis letak geografinya.
Beberapa
bulan lalu aku mengikuti sebuah konferensi di sebuah kota. Tak kusangka, salah
satunya adalah seorang mahasiswa dari Jambi. Saat itu belum timbul
ketertarikanku pada kota Jambi sehingga aku tidak bertanya lebih dalam tentang
Jambi padanya.
Pada
kesempatan kedua, di sebuah konferensi yang berbeda, aku berkenalan dengan
seorang mahasiswi dari Jambi. Iseng-iseng aku bertanya padanya tentang seluk
beluk kota Jambi dan keindahan di dalamnya.Maklum, aku jarang memiliki teman
dari pulau lain Kalaupun ada itu hanya satu dua orang saja. Itupun mereka
adalah para perantau di kota besar seperti Medan atau Padang. Jadi sekalinya
bertemu orang dari luar pulau Jawa, langsung ‘menginterogasi’. Sejak konferensi
itulah ketertarikan pada kota itu mulai mencuat.
Ini Kisah Mereka: Orang Rimba di
Jambi
![]() |
lingkungan hidup orang Rimba (google.com) |
Jambi
memiliki banyak tempat menarik untuk disambangi. Sebut saja Taman Mini Jambi di Taman Rimba, Danau Sipin, Hutan Kota, Sungai Batanghari, Seberang Kota, dan Tanggo Rajo
Tapi
mari coba menelisik Jambi lebih jauh ke pedalaman. Disana terdapat berbagai
suku. Salah satu yang cukup menyita perhatianku adalah kisah Suku Anak Dalam. Mendengarnya
mungkin langsung membuat kita tertarik. Tapi tahukah kalian dimana mereka
berada? Seperti apa kondisi lingkungan dan sosial mereka?
Suku anak
dalam tersebar mulai dari Palembang hingga Riau dan Jambi. Namun, memang paling
banyak terdapat di daerah Jambi. Warga suku Anak Dalam biasa
menyebut diri mereka dengan sebutan Orang Rimba. Tentu sudah dapat ditebak, hal
itu dikarenakan kondisi lingkungan mereka di tengah-tengah hutan rimba, di
daerah bukit Duabelas Jambi. Kehidupan sosial mereka masih terbilang begitu
primitif. Dalam mencari makan, mereka memanfaatkan apa-apa yang ada di hutan.
Dalam berpakaian pun ‘seadanya, artinya hanya menutupi bagian tubuh tertentu.
Terdapat
beberapa sejarah tentang kemunculan Orang Rimba. Sejarah pertama menyatakan bahwa asal
usul Anak Dalam berasal dari sejumlah cerita/atau hikayat yang dituturkan
secara lisan dan berkembang di provinsi Jambi seperti Cerita Buah Gelumpang,
Cerita Orang Kayu Hitam, dan lain-lain yang berasal menceritakan tentang perang
Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904.
Sejarah lain mengungkapkan bahwa ada seorang
yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah
gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang
itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah
menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kimpoi Bujang Perantau,
namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka.
Putri tersebut berkata:
“Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya
kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau
kita dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin”.
Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya,
kemudian keduanya menjadi suami isteri.
Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak,
yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang
Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan
Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris
keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk Islam. Keduanya menjadi
orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi sedangkan
Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang
Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah
Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo
sekarang. (http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1071/suku-anak-dalam-jambi).
Selain
sejarah di atas, masih terdapat sejarah dari berbagai sumber lainnya. Banyaknya
literatur yang mengungkapan sejarah anak rimba yang berbeda-beda, membuatku
belum yakin mana yang benar. Yang aku pasti yakini adalah bahwasanya mereka
ada. Mereka seperti kita, manusia yang butuh sandang, pangan dan papan.
Hingga tahun
2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang
mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun
sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana
nenek moyang dahulu. Ya, mereka juga memiliki hukum rimba dan temanggung yakni
ketua adat. Membaca literatur tentang keprimitifan Orang Rimba membuat
batinku sebagai seorang wanita dan calon pendidik pun bergejolak dan
bertanya-tanya.
Seperti apa persisnya kondisi
pendidikan anak disana? Seperti apa kondisi para wanita di sana?
![]() |
orang rimba (google.com) |
Ini Kisahku: Sebuah Mimpi yang
Tertoreh
Mataku
memang belum pernah berjibaku dengan pemandangan di sana. Kakiku memang belum
pernah menginjakkan seinchi pun tanah di sana.
Namun hatiku mampu merasa. Melalui binar mata dari gambar digital.
Melalui literatur nyata yang kubaca. Bahwasanya seolah anak-anak itu memanggil
nuraniku.
Maka
sebuah mimpi pun tertoreh.
Aku ingin suatu saat nanti dapat
bersilaturahim dengan orang rimba, memaksimalkan kontribusiku pada dunia pendidikan
anak dan kaum wanita.
Bukan
sekedar keinginan, namun sebuah kebutuhan. Kebutuhan untuk mengabdi pada negeri
tercinta Indonesia, walaupun sedikit demi sedikit. Selain itu aku ingin
menantang diriku dengan keluar dari zona nyaman ini, namun tentu masih memegang
teguh prinsip hidupku. Selama ini aku hanya fokus di satu pulau ini, pulau
Jawa, tanpa pernah sekejap pun berpaling pada pulai di luar sana. Bukan berarti
pendiskriminasian, hanya berusaha mengecap indahnya mengabdi pada Indonesia di
luar zona nyaman ini. Semoga mimpi itu dapat tercoret tanda telah terealisasi.
Ya, mari berusaha!
Aku
memang belum tahu pasti kondisi mereka seperti apa, yang aku tahu hanya bahwa aku
punya mimpi yang kubawa untuk Orang Rimba, khususnya anak-anak dan para wanitanya.
Anak-anak adalah para calon generasi muda yang akan meneruskan tongkat estafet
perjuangan bangsa Indonesi. Sedangkan wanita adalah tonggak peradaban bangsa
sebab di tangannya lah akan lahir generas-generasi selanjutnya. Aku sangat
yakin, anak-anak dan para wanita Suku Anak Dalam sangat berpotensi, mengingat
mereka sangat dekat dengan alam Indonesia. Mereka terbiasa memanfaatkan segala
potensi alam atau yang kerap disebut kearifan lokal. Mereka juga punya hak
untuk hidup lebih baik. Mereka harus punya mimpi untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih baik.
Semoga
mimpi ini menjadi perantara mereka untuk mencapai hak dan mimpi tersebut. Memang
bukan mimpi yang mudah dicapai tapi semoga segala niat, usaha dan doa ini dapat
mereduksi penghalang-penghalang yang menghadang.
“Bermimpilah,
tuliskanlah dan tempelkanlah di tempat strategis dan bersemangatlah meraihnya!”
![]() |
Jakarta ke Jambi (sumber: dokumen pribadi) |
^_^.
BalasHapusbukan sebuah hegemoni dan majas yang berlebihan sekiranya, jika mengatakan kekayaan jambi sungguh mempesonai orang lain, hanya saja dewasa ini orang memandang dengan kacamata yang berbeda. akupun pernah ingin membenahi kacamata itu, tapi sungguh sulit ternyata. karena banyak peralatan dan alat optik yang tidak aku punyai.,,,
Ganbatte Kudasai....
Mungkin yg mereka butuhkan bukan peralatan dan alat optik tadi pemanfaatan kearifan lokal daerah mereka. Wallahu'alam.
HapusSemangat!^^
Bawain baju aja sya.. pasti seneng tuh anak rimbanya.
BalasHapusDi jambi mang masih banyak hutan, tapi entah mungkin sekarang beberapa udah tergusur. Ibuku lahir di Jambi, tepatnya di desa Sungai Penuh... namanya sungai penuh, tapi daerahnya kering. Malahan, desa sebelah yang namanya sungai kering, kalau hujan kebanjiran. Nama memang gak mewakili keadaan, tapi keadaan itu menggambarkan kondisi sebenarnya di tanah Jambi.. Wallahua'lam...
Mudah-mudahan dipertemukan dengan saudara2mu di Jambi sya ^^ hehe
Oalah, unik banget nama daerahnya..
BalasHapusAamiin.. Doakan saja ya..