Alhamdulillah naskah esai ini meraih juara I Lomba Esai Nasional BEM JIAI UNJ pada tanggal 23 Oktober 2014. Selamat membaca. :)
Indonesia,
sebuah negeri dengan berbagai julukan. Negeri kepulauan, negeri cincin api,
negara agraris dan berbagai julukan lainnya yang membuatnya dikenal di mata dunia.
Dibandingkan dengan negara wilayah timur lainnya, Indonesia merupakan negara
dengan mayoritas warga beragama Islam. Agama Islam tumbuh pesat sejak
berabad-abad silam.
Berbicara
mengenai Islam, tak luput dari sejarah perkembangannya. Berawal dari kedatangan
para pedagang ke wilayah nusantara khususnya pulau Jawa pada abad ke-3 masehi.
Kemudian pada abad ke-13 masehi, muncullah Wali Songo, sembilan orang ulama
terkemuka yang menyiarkan agama islam semakin dalam. Tidak hanya melalui jalur
perdagangan namun juga pernikahan, seni budaya dan tasawwuf.
Dewasa
ini mulai muncul kembali isu mengenai keberagaman islam di nusantara. Isu
tersebut menyebutkan berbagai ‘jenis’ islam yang ada. Bahkan tidak sedikit yang
menganggap ‘jenis’ tersebut menyesatkan akibat dalil dan kegiatan yang
dilakukannya sangat buruk. Hal ini tentu merusak citra agama islam di dunia.
Padahal Islam adalah agama rahmatan lil alaamiin yang juga dibawa oleh
Rasulullah S.A.W sebagai rahmat bagi semesta alam. Lantas bagaimana islam
menanggapi perbedaan tersebut?
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS al-Hujarat [49]:13).
Firman
tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai adanya perbedaan. Justru
perbedaan tersebut hendaknya menjadi lahan untuk kian menggaungkan nama Islam. Namun
bagaimana dengan ‘keberagaman’ dalam Islam sendiri yang akhir-akhir ini
mewarnai dunia perwartaan?
Islam
itu satu. Satu tuhan, Allah S.W.T. Satu Rasul, Nabi Muhammad S.A.W. Satu kitab
suci, Al-Qur’an. Satu sunah, al-Hadits. Tidak ada istilah islam imitasi, islam
A, islam B. Karena islam itu satu. Sayangnya pemberitaan di Indonesia, bahkan
di dunia cenderung mengandung unsur negatif yakni mengenai munculnya beragam
macam islam. Akibatnya paradigma masyarakat cenderung ke arah negatif. Jadi,
siapakah yang bertanggungjawab untuk menormalkan semua kembali?
Mahasiswa
adalah agen pembuat perubahan, tentu dalam hal ini yang diharapkan adalah
perubahan positif. Mahasiswa adalah satu elemen yang harus bertanggung jawab.
Tidak hanya bertanggungjawab, namun juga berkewajiban mengembalikan pemahaman
islam dan paradigma positif mengenai islam di mata dunia. Mahasiswa, khususnya
yang beragama islam, sudah selayaknya kritis terhadap isu-isu mengenai
keislaman. Bersikap kritis artinya bereaksi terhadap aksi yang
diberikannya.Bersikap kritis bukan sekedar berdemo seraya berkoar dengan
pengeras suasa. Bukan pula hanya duduk di tempat seraya tertawa atau bahkan
bersikap sini. Lantas sikap kritis yang bagaimanakah yang selayaknya
ditunjukkan oleh mahasiswa?
Kritis
berintelektual dan bermoral. Terkadang dijumpai sikap kritis yang tidak
berlandaskan akal sehat dan moralitas. Akibatnya mahasiswa dicap sebagai
pengrusak, bukan justru agen perubahan positif. Hal ini turut berimbas pada
paradigma masyarakat terhadap islam. Mahasiswa muslim harus kritis, menelaah
setiap permasalahan yang didengar atau dibacanya. Kritis berintelektual adalah
yang menggunakan nalar. Kritis bermoral adalah yang menggunakan tata krama.
Berikut adalah penjabaran lebih lanjut mengenai kritis berintelektual dan
bermoral melalui tiga budayanya.
Pertama,
baca. Buku adalah jendela dunia.
Tentu kita sudah tak lagi asing dengan kalimat tersebut. Hal ini menunjukkan
betapa kegiatan membaca sangat penting. Dengan membaca kita mendapatkan
pengetahuan baru, seolah-olah kita telah berkeliling dunia padahal hanya duduk
di tempat seraya membaca buku. Di era modern seperti saat ini membaca tak hanya
dilakukan secara offline atau media cetak namun juga dapat dilakukan secara
online melalui media yang terdapat di internet.
Mahasiswa
hendaknya banyak membaca berbagai referensi yang berkaitan dengan isu yang
sedang muncul. Contohnya mengenai keberagaman islam di nusantara. Berbagai
sumber bacaan dapat dijadikan referensi membaca. Tidak harus berpacu pada satu
pengarang atau ulama namun dapat juga membandingkannya dengan pengarang atau
ulama lain. Manusia dapat diibaratkan seperti sebuah gelas dan ilmu pengetahuan
adalah air. Sebuah gelas hanya akan menjadi gelas kosong jika tidak diisi.
Begitupun dengan manusia, hanya akan jadi manusia ‘Tong Kosong Nyaring
Bunyinya’ jika tidak diisi pengetahuan. Membaca merupakan kegiatan efektif
dalam menambah ilmu pengetahuan.
Kedua,
tulis. Ketika kita masih berpredikat
sebagai siswa, guru akan menanyakan mengenai tugas karya fiksi seperti cerpen
dan puisi. Namun begitu bermetaforsa menjadi mahasiswa yang ditanyakan bukan
lagi cerpen maupun karya fiksi lainnya melainkan karya nonfiksi seperti esai
dan karya ilmiah atau paper. Bukanlah
sebuah larangan untuk menulis karya fiksi. Hanya saja mahasiswa tidak bisa
menghindarkan diri dari kegiatan menulis karya nonfiksi. Lagipula bukankah
tugas akhir mahasiswa atau skripsi merupakan karya tulis ilmiah? Jika tidak
dilatih sejak dini dan serba mendadak, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.
Masih
dengan perumpamaan yang sama. Sebuah gelas tentu akan luber jika terus diisi
tanpa pernah mengisi. Membaca diumpakan sebagai ‘diisi’ sedangkan menulis
diumpamakan sebagai ‘mengisi’. Hal ini menyimpulkan bahwa diisi dan mengisi
merupakan sebuah daur yang tak bisa saling lepas. Tak ubahnya mahasiswa, begitu
mendapatkan pengetahuan mengenai keberagaman islam di nusantara, selanjutnya ia
hendaknya menuliskan apa-apa yang didapatkannya, fakta serta ditambahkan dengan
opini pribadi.
Ketiga,
diskusi. Diskusikanlah apa-apa yang
telah ditulis maupun dibaca. Berdiskusi juga menjadi sarana berkumpul dengan
sesama kaum intelektual. Berdiskusi bukan untuk berdebat atau beradu argumen,
merasa paling benar. Tidak jarang diskusi berujung pada debat dan konflik.
Mahasiswa hendaknya tahu etika berdiskusi yang baik dan benar. Berdiskusi untuk
mengetahui opini orang lain khususnya mengenai keberagaman Islam di nusantara,
juga untuk mendapatkan pencerdasan. Meski begitu apa-apa yang didapat dari
diskusi hendaknya ditelaah kembali.
Mahasiswa
sudah selayaknya kritis, namun kritis yang ilmiah. Baca, tulis dan diskusi
hendaknya menjadi budaya dalam menyikapi segala permasalahan termasuk
keberagaman Islam di nusantara. Pun Sang Saka Merah Putih telah berkibar di
tanah merah putih, sudah selayaknya ia dipersandingkan dengan panji kesatuan
islam. Islam satu, Islam jaya!
Daftar
Pustaka
Asy, Fauzan.
Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara. 2004.
Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara, 2005.
Priandono, Tito Edy. Komunikasi dalam Keberagaman. Bandung:
Departemen Ilmu Komunikasi, 2014.
0 komentar: