Science On Field: Our (Long-Hard) Journey was begun! (1st Day)



The scenary along our journey
Introduction:
Di awal masa amanahku di RnD Science Club aku membuat proker yaitu Science on Field berupa pengabdian masyarakat dan penelitian. SoF part I dilaksanakan bulan Juli 2013 di Cigaronggong, Sukabumi. Untuk part II rencananya bulan Januari 2014 di Ujunggenteng. Semua persiapan sudah kulakukan, mulai dari minta bantuan alat ke EBTKE hingga berkoordinasi dengan host family disana. Sayangnya volunteer yang kudapat baru 5 orang. Tapi tak apa, aku tetap akan berjalan.
Namun Allah berkehendak lain, pihak sekolah di Sukabumi mendadak ada acara di tanggal 14-16. Hari itu sudah H-7. Sementara aku hanya punya waktu tanggal 14-16 sebab 21-29 sudah cukup padat. Aku sungguh bingung. Sempat pula terjadi pergolakan batin antara diriku sendiri dan pihak lain. Singkat cerita semua terselesaikan. Diputuskan SoF tanggal 21-23 di Cibuyutan, sebuah daerah yang sama sekali awalnya tak kupikirkan. Tim volunteer terdiri dari aku, Riyo, Kara, Athya, Afam, Nira, Henso dan Adi. Semua rundown telah fix, begitupun peralatan dan koordinasi dengan pihak Cibuyutan. 
Selasa, 21 Januari 2014
Kami kumpul di kampus jam 08.00. Hujan mengiringi awal kepergian kami. Enam orang dari kami menaiki mobil milik senior yang dipinjamkan dan 2 orang laki-laki naik motor. Perjalanan ditemani hujan yang cukup deras. Kami sempat berhenti di Cibubur untuk mengambil pesanan pin. Wah terimakasih banget untuk Kak Ardi yang sudah rela berhujanan ria demi mengantarkan pin.
Sekitar pukul 12 kami menghentikan perjalanan di musholla daerah Cileungsi untuk ishoma. Disana kami juga menjemput Kak Hersan, kakak pembina kampung Cibuyutan. Beliau akan mengantarkan kami berjalan kaki 2 jam menuju kampung. Perjalanan pun dilanjutkan dengan Henso dan Riyo tetap bermotor di depan kami.
Dua lelaki tangguh bermotor :D

 Singkat cerita, sampailah kami di poin terakhir, maksudnya poin yang setelahnya tidak bisa dijangkau kendaraan umum. Kami beristirahat sejenak di rumah Mang (duh lupa namanya) untuk ishoma dan berbagi barang bawaan. Ternyata juga ada Pak Mista disana. Beliau adalah guru MI di Cibuyutan. Relanya beliau berjalan kaki 2 jam seorang diri demi menjemput kami! Disitulah aku merasakan berbagai kemudahan Allah datangkan.
Satu jam kemudian, perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Kami bersepuluh mulai berperjalanan. Adhi begitu sigap dengan carriel dan sepatu gunungnya, begitupun yang lain. Aku? Hanya memakai sandal jepit biasa, ckck.
The journey was started!

"Visya, ini isinya apaan sih? Berat banget." komentar Afam yang kedapatan mengangkut poster. Sebetulnya aku agak kasihan, tapi mau gimana lagi? Hehe. Maafin aku ya.
Medan pertama berupa turunan berbatu yang amat licin. Lalu ada beberapa kali jembatan kayu dengan aliran sungai deras di bawahnya. Ada pula tanjakan berlumpur. Beberapa kali sandalku terjerembab di dalam lumpur, membuatku jauh tertinggal dengan teman-teman di depan. Tapi aku coba kuatkan diriku, dibantu semangat teman-teman. Ah, berasa paling lemah..heemm..
Jembatan kayu seperti ini kami lewati berkali-kali

Di bawahnya mengalir sungai beraliran (sangat) deras

Sempat ada insiden Athya yang kelelahan, namun untunglah ia segera sehat kembali setelah dipijati kakinya oleh Kara. Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan mengenakan raincoat, kecuali aku yang memang tidak punya.
Ah, alam ini begitu indah. Ada bukit-bukti menjulang. Padang rumput terhampar. Sungai mengalir. Dan lain-lain. Kami berhenti di sebuah warung untuk beristirahat sejenak. Di daerah ini hanya ada sebuah warung dan kandang sapi. Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana penghuni warung ini dapat bersosialisasi di tengah pedalaman?
Singgah di warung sejenak
Jalan hidup :')

Wuiih

Kulihat kakiku sudah penuh lumpur, sandalku tak lagi biru melainkan coklat. Sementara perjalanan masih 1 jam lagi. Ya Rabb..
"Visya kasihan banget sandalnya udah ngga biru. Pasti licin ya?" tanya Nira. Aku hanya mengangguk tersenyum.
"Mau pake sandal gunung Adi?" tawar Adi. Kontan saja aku mengiyakan.
Lalu kami melanjutkan perjalanan. Aku merasa lebih ringan memakai sandal gunung Adi. Nafasku sudah ngos-ngosan saat memasuki medan penuh tanjakan curam berbatu.
"Kuat, Sya, kuat! Sedikit lagi. Kuat!" aku benar-benar sudah kelelahan. Kalau saja aku mengikuti lelah itu, barangkali aku sudah pingsan di tengah jalan. Tapi aku terus berjalan , berjalan dan berjalan.
Kampung Cibuyutan kian dekat. Satu tanjakan berlumpur lagi dan kami tiba di rumah Pak Mista.
Rumah? Pertama kali aku melihat kondisinya, sungguh meprihatinkan. Sebuah bangunan tripleks model panggung yang hanya bersekat dengan kandang kambing. Batinku tersentak,
"Ya Allah ini apa? Ini rumah? Ini bukan rumah ya Allah. Disinikah aku harus tinggal selama beberapa hari ke depan?"
Aku memandang ke bawah. Kaus kakiku sudah tak lagi berbentuk. Setelah bertegur sapa dengan istri Pak Mista, kami para wanita diantar menuju homestay wanita, rumah keponakan Pak Mista. Lagi-lagi aku menelan ludah dalam-dalam. Lalu kami ditunjukkan jalan menuju MCK yang licin dan harus melewati sungai kecil.
"Sya, kamu sanggup tinggal di tempat seperti ini?"
"SANGGUP!" batinku menjawab dengan penuh keyakinan.
Kami tiba di kampung tepat saat adzan magrib. Sebelumnya kami sempat mengobrol dengan Pak Mista.
"Oia, Pak, nanti akan ada yang ditinggal salah satu dari kami." Kak Hersan menggantung kalimatnya. "Bukan begitu, Visya?"
"Hah?" aku terkejut.
"Kan Visya katanya mau ajdi guru SD di pedalaman." Kak Hersan mengingatkan.
Iya sih,... Hmm tapi kalo sekarang masih mempersiapkan diri, Kak..batinku.
Setelah itu kami pun kembali ke homestay masing-masing. Sebetulnya aku agak enggan pergi ke MCK karena kondisi sudah benar-benar gelap, tak ada penerangan di sepanjang jalan, pun di dalam MCK. Namun kuberanikan diriku, berbekal headlamp. Kaus kakiku sudah benar-benar kotor. Untung saja aku masih punya 3 kaus kaki. Ya, untuk yang satu ini walau kecil namun jangan terlupakan. Dimanapun itu.
Setelah kami semua bebersih, kami mengobrol dengan host family kami, spasang suami istri dan bayinya. Kami diberi makan nasi dan peyek ikan asin. Selama ini aku hanya melihat di TV betapa orang-orang itu menangis terharu saat menikmati makanan yang sangat amat sederhana dan kini aku merasakannya sendiri.
Tenggorokanku tercekat. Belum pernah aku makan hanya dengan nasi yang hampir kering dan sedikit peyek. Kalau saja ini di Jakarta, pasti aku memilih untuk tidak makan atau jajan di luar. Rasanya aku tidak mau makan. Tapi aku harus. Aku harus membiasakan diriku hidup sangat sederhana. Bismillah..
Kami makan ditemani hujan yang turun dengan deras. Listrik pun mulai menyala. Ya, listrik disini hanya menyala di malam hari. Sumbernya dari PLTS. Kami tidur di ruang tamu berempat; aku, Kara, Athya dan Nira. Aku mengenakan jaket, sarung dan selimut. Masih dingin. Tapi biarlah. Toh aku harus membiasakan hidup sangat sederhana.
Kami pun terlelap. Hingga tengah malam ramai orang keluar karena listrik yang padam hingga keesokan hari. Ya, tak ada listrik. Ya Rabb... Inilah perjuangan pertama kami. Berjam-jam berjalan kaki, menyadari bahwa masih ada kampung sebegitu terpencilnya seperti disini. Semoga pengalaman beberapa hari ke depan mampu membuat kami lebih bersyukur. Aamiin.
Pengalaman hari kedua, bisa dibaca di sini ya

2 komentar:

  1. perjuangan banget deh Sya..
    keren-keren, calon guru masa depan harus siap dengan segala kondisi hehe..(y)
    dan dari sini juga kamu akan banyak belajar bagaimna hidup di sebuah daerah pelosok dengan kondisi yang yang sederhana tanpa kemewahan,,
    apalagi yang dekat dengan alam sekitar --->kamu "akan semakin mengenal dirimu"

    BalasHapus
  2. Memang.. Luar biasa lagi mereka yang tinggal disana..

    BalasHapus