Bismillahirrahmanirrahim
Rabu 17 Juni 2015
Pagi itu aku berencana untuk pergi ke kampus setelah semalam
bermalam di rumah mbah, yang letaknya tak jauh dari rumahku.
“Pi, anterke mbahne neng dokter gih, Nduk (Pi, anterin mbah ke dpkter, Nak).” Kata Mbah Putri.
“Emang mbah sakit apa?” tanyaku pada Mbah kakung. Beliau
hanya menggeleng “Ora’”
“Gih, Nduk. Saiki.(Gih, Nak. Sekarang)."
Aku dan Isma, sepupuku pagi itu juga mengantar mbah ke
klinik naik bajaj. Mbah mulai tampak kesulitan berjalan. Tertatih-tatih kami
menggandengnya. Saat diperiksa, ternyata mbah mengaku habis jatuh dan merasa
sakit pada lututnya. Setelah menebus obat, kami pun pulang.
Rupanya mbah tak serta merta total beristirahat di ranjang,
beliau masih sempat memperbaiki pintu di lantai dua. Dan pastinya mbah tak
pernah ketinggalan shalat berjamaah 5 waktu.
Minggu 14 Juni 2015
Kondisi mbahkung (panggilan singkat untuk Mbah Kakung) mulai
menurun. Beliau semakin sulit berjalan, bahkan kami ‘memaksanya’ untuk tetap di
ranjang saja. Tak tega melihatnya kesusahan berjalan. Tapi mbah tak pernah
gentar, setiap adzan shalat, mbah memaksakan diri untuk berwudhu di kamar mandi,
meski kami sudah katakan
“Mbah boleh kok sholat di ranjang, tayamum aja.”
Hari-hari kuhabiskan merawat beliau. Rasanya tak ingin melewatkan
sehari tanpa beliau. Sebelumnya beliau juga sempat sakit tak bisa jalan tapi
atas kehendakNya, beliau sembuh, Tapi kini? Entahlah, kali ini ada rasa
ketakutan menyergapku.
Suatu kali mbah memaksa ke kamar mandi, alhasil mbah tidak
bisa keluar kamar mandi, kakinya begitu kaku digerakkan. Aku pun meminta
bantuan tetangga hingga Mbah bisa kembali. Mbah putri lagi-lagi menasihati
mbah.
"Mbah, ora usah neng kamar mandi meneh yo. Engko nek jatuh makin parah. (Mbah, ga usah ke kamar mandi lagi ha. Kalo jatuh, makin parah)."
"Iya, Mbah. Nurut ya, Mbah." tambahku.
Sejak sakit, mbahkung terpaksa pakai pampers.
"Mbah, ora usah neng kamar mandi meneh yo. Engko nek jatuh makin parah. (Mbah, ga usah ke kamar mandi lagi ha. Kalo jatuh, makin parah)."
"Iya, Mbah. Nurut ya, Mbah." tambahku.
Sejak sakit, mbahkung terpaksa pakai pampers.
Setiap malam aku menjaga mbah. Mbahkung tidur di ranjang di ruang tamu,
sementara aku di bawah ranjang beralaskan karpet. Suatu malam, aku tiba-tiba terbangun dan
mendapati ranjang mbah kosong. Sontak aku langsung terbangun dan terkejut.
Mbahkung dimana?
Tiba-tiba mbahkung masuk dari luar kamar. Rupanya beliau
habis dari kamar mandi, mencuci kain yang dijadikan alas tidurnya, juga pampersnya. Masya Allah, padahal kemarin mbah ndak bisa jalan, tapi
malam itu Allah memberinya anugerah. Aku tergopoh-gopoh membantu mbah ke
ranjang. Meski dalam hati aku juga khawatir mbah terjatuh. Ternyata mbah habis mencuci kain yang dipakainya sebagai alas dan pampers yang dipakainya. Ya, sejak kesulitan berjalan, mbahkung harus pakai pampers dewasa.
Malam lainnya, aku mendapati mbah terbangun, terduduk di
ranjang. Diam.
“Mbah, Mbah kenapa? Tidur aja yuk.”
Rupanya mbah putri terbangun. “Mbah kowe ngopo? Turu meneh
gih. Mesake cucune sing enteni kowe sak maleman ora turu.” (Mbah, kamu kenapa? Tidur lagi gih. Kasihan cucunya yang nungguin kamu semalaman ga tidur).
Mbahkung hanya diam dan akhirnya menurut.
Mbahkung tak banyak bicara sepanjang pekan itu, tapi masih
bisa merespon percakapan. Kalo aku keluar rumah, meski lagi di ranjang, mbah
pasti nanya.
“Arep nang ngendi, Pi?” (Mau kemana, Pi?)
Kadang itu membuatku tak jadi pergi meninggalkannya. Ya,
sudah sepekan kuhabiskan full di rumah mbah. Menjaga mbahkung, menyuapi makan,
memberi minum, mengelap tubuhnya, dll. Aku benar-benar belajar menjadi perawat
yang baik. Kadang berdua dengan saudariku, kadang sendiri.
Pernah juga suatu siang mbah terbangun. Mencari-cariku.
"Ngendi si Evi?" (Dimana si Evi?).
"Enek putune, Mbah, age turu." kata mbah putri. (Ada cucunya, Mbah, lagi tidur).
Pernah juga suatu siang mbah terbangun. Mencari-cariku.
"Ngendi si Evi?" (Dimana si Evi?).
"Enek putune, Mbah, age turu." kata mbah putri. (Ada cucunya, Mbah, lagi tidur).
Saudara-saudara mulai berdatangan menjenguk mbah. Maklum
lah, mbahku adalah sesepuh di keluarga besar kami. Usianya sudah menginjak
angka 68 tahun.
Minggu 21 Juni 2015
Aku tak pernah terpikirkan untuk membawa mbahkung ke RS, aku
tahu mbah tidak suka dan tidak pernah dirawat di RS sebelumnya. Tapi Keluarga
besar kami akhirnya memutuskan membawa beliau ke RS mengingat kondisinya
semakin memprihatinkan, sulit bangun.
Selama di RS, aku datang menjaga mbah, sesekali menemani
mbah putri yang sendirian di rumah. Kabar terbaru dari RS, mbah harus masuk ICU
dan diberi obat di jantungnya seharga 3 juta per sekali minum. Ya Rabb..
Bukan masalah uangnya, tapi aku bisa lihat raut wajah mbah
merasa begitu ‘tersiksa’. Banyak selang ‘menghiasai’ tubuhnya. Mbah tidak suka
disini. Tolong bawa mbah pulang, aku akan menjaganya, kataku.
Kamis 25 Juni 2015
Allah kabulkan pintaku. Mbah dibawa pulang ke rumah. Kali
ini mbah sama sekali tidak bisa bangkit dari ranjang. Keluargaku dan keluarga
bude bergantian menginap di rumah mbah tapi aku setiap ahri selalu standby di
rumah mbah.. Seperti yang kubilang, tak ingin melewatkan hari tanpa mbah di
sisiku. Aku benar-benar menjadi ANSOS. Aku pun tak lagi pedulikan penampilanku.
Tak apa pikirku.
Hingga saat itu mbah masih bisa merespon percakapan kami,
walau terbata-bata. Mbah masih mau makan walau sedikit-sedikit. Mbah masih mau
melek, ndak tidur terus.
Selasa 30 Juni
2015
Allahurabbi.. Kondisi mbah semakin menurun drastis.. Mbah
sulit membuka mata, bahkan tertidur terus.
“Mbah, Mbah bangun. Ayo makan. Aku suapi.” Kataku di
telinganya. Tapi mbah hanya meringis kesakitan. “Mbah kenapa? Bilang sama aku
apa yang sakit? Istigfar, Mbah.”
Mbah tetap tidak meresponku, hanya menceracau kesakitan.
Semenjak mbah sakit kami sekeluarga membacakan al quran di
telinganya, berharap hanya yang baik-baik yang mbah dengar. Mulai hari itu juga
mbah diperdengarkan murottal dari walkman.
Rabu 1 Juni 2015
Malam harinya kondisi mbah memprihatinkan, mbah terus
menceracau kesakitan tapi tidak merespon kami. Raut wajah kami semakin ketakutan.
Tak hentinya kami bacakan al quran sepanjang malam itu. Aku terus membisikkan
lafadz Allah di telinga mbah.
“Mbah, ayo bangun. Sembuh ya, Mbah. Ngobrol lagi sama aku.
Ayo, Mbah. Semangat.” Bisikku setengah menangis.
Kamis 2 Juli 2015
Pukul 02.00 aku terbangun, mbah terbatuk batuk berat. Aku
memandangnya, Mbah kuat ya Allah, kuatkan!
Pukul 03.30 aku santap sahur, sementara budeku memeriksa
mbah.
“Zin, kok kaki mbah dingin ya?” kata bude saat memegang
kedua kaki mbah. Ayahku yang diajak bicara berusaha menanggapi dengan santai dan tak menampakkan raut tegang.
"Emang udah mau pagi, dingin, Mbak."
Aku tidak tahu percakapan itu, hanya diberitahu. Bude akhirnya pulang, rumahnya memang dekat dari situ.
"Emang udah mau pagi, dingin, Mbak."
Aku tidak tahu percakapan itu, hanya diberitahu. Bude akhirnya pulang, rumahnya memang dekat dari situ.
Setelah santap sahur, rupanya aku tertidur.
Adzan subuh berkumandang, seperti biasa mbah putri pergi
sholat subuh ke masjid. Biasanya ayah dan ibuku langsung pulang ke rumah, tapi
entah mengapa kali ini mereka menunggu mbah putri pulang.
Mbah putri pun kembali dari masjid. Beliau menghampiri
mbahkung, ingin mencium tangannya seperti biasa tapi kalimat tanya ini keluar
dari mulutnya.
“Lha, Cah, kok ora ene nafasnya?”
Entah bagaimana aku yang semula tertidur langsung terbangun
mendengar perkataan mbah. Ayahku memeriksa mbah dan menyatakan mbah telah
tiada..
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..
"..dan setiap yang bernyawa pasti merasakan mati."
Seketika aku, saudariku, mbah putri, ibu dan ayahku tersentak. Kami mulai menitikkan air mata. Aku memeluk tubuh mbah dan berbisik.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..
"..dan setiap yang bernyawa pasti merasakan mati."
Seketika aku, saudariku, mbah putri, ibu dan ayahku tersentak. Kami mulai menitikkan air mata. Aku memeluk tubuh mbah dan berbisik.
“Mbah, masih ada kan? Mbah dengar aku kan? Mbah bangun, aku
mohon ya Allah.”
Aku segera menghubungi bude sekeluarga untuk datang.
“Bapak wis ora ene, Sri,” (Bapak sudah tidak ada, Sri), kata mbah putri masih dengan
tersedu pada bude. Bude langsung memeluk tubuh kaku mbah.
“Eh tapi badannya ijek panas ki, Cah.” Mbah putri menghapus
air matanya, mengganti pampers mbahkung. “Cuma pingsan kali, Cah.”
Ya Allah, Mbah.. Mbah putri seperti masih menaruh harapan.
Dokter pun datang, memeriksanya. Dalam hati aku berdoa keras agar Allah lapangkan
hati mbah putri.
“ijek kan, Dok, mbah Kasidi?”
“Ibu, maaf secara emdis bapak telah tiada.” Kata dokter.
Lagi-lagi mbah tersentak. Aku memeluk, berusaha menabahkan
meski hatiku juga terasa sesak.
Singkat cerita saudara dan tetangga mulai berdatangan. Mbah
mulai ditutupi kain sembari menunggu untuk dimandikan. Sesungguhnya aku tak berhenti
menitikkan air mata setiap kali memandang wajahnya. Entah sudah berapa liter
air mata yang kuteteteskan..
Hingga mbah akhirnya dimakamkan pukul 14.00.
“Mbah aku pulang ya. Maaf aku ga bisa nemenin mbah lagi.
Tapi mbah selalu di hatiku. Aku mencintai mbah, sangat.. Tapi Allah lebih
mencintai mbah..”
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Maka diujinya mbahkung dengan rasa sakit..
Mbahkung orang baik.. Wajahnya tampak bersinar ketika wafat. Sakratul mautnya pun begitu menenangkan.. Mbahkung memang tak
mau merepotkan siapapun, amat mandiri..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Mbah amat rajin sholat berjamaah 5 waktu sekalipun lagi sakit, selama ia masih bisa bangun, ia lakukan, tak akan tinggalkan..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Mbakung adalah sosok yang begitu pendiam namun pekerja keras untuk keluarganya. Mbah tidak banyak bicara tapi banyak bertindak. Mbahkung yang gemar menggendongku di kala aku kecil. Merawatku hingga usiaku kini genap 21 tahun.. Mbahkung yang selalu mendengar ceritaku meski tak banyak merespon..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Mbahkung yang begitu sabar dan murah senyum.. Mbahkung juga tak pernah mengeluh walau sakit. Aku selalu terbayang senyum khas beliau..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Mbakung adalah sosok yang begitu pendiam namun pekerja keras untuk keluarganya. Mbah tidak banyak bicara tapi banyak bertindak. Mbahkung yang gemar menggendongku di kala aku kecil. Merawatku hingga usiaku kini genap 21 tahun.. Mbahkung yang selalu mendengar ceritaku meski tak banyak merespon..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Mbahkung yang begitu sabar dan murah senyum.. Mbahkung juga tak pernah mengeluh walau sakit. Aku selalu terbayang senyum khas beliau..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Mungkin mbahkung sengaja minta diwafatkan di bulan Ramadhan dan di kala subuh, di
waktu terbaik. Mbah ingin semua anak, istri, menantu dan cucunya sedang
berkumpul.. Dan Allah kabulkan..
Maaf aku belum bisa membahagiakan mbah.. Selama mbah sakit,
aku merasa amat sedih tapi tak pernah kuungkapkan di depan publik. Aku berusaha
tampil sebagai Visya yang ceria
sebagaimana biasanya..
sebagaimana biasanya..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Memang dibandingkan dengan 3 cucunya yang lain, bisa
dibilang aku paling dekat sama mbahkung dan mbah putri..
Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintainya..
Ya Allah.. Betapa kematian amat dekat.. Betapa aku merasa kehilangan beliau.. Tapi aku
tahu, semua hanya titipan dariMu ya Allah... Jagalah mbahku disana, beri tempat
terbaik untuknya..
Hingga detik aku menulis ini, bayang wajah beliau masih
teringat di wajahku. Aku merasa mbah begitu dekat..
Allah, bantu menjaga mbah putri.. Kuatkan kami sekeluarga.. Kuatkan mbah
putri..
Sekali lagi kukatakan..
Selamat beristirahat dengan amat tenang, Mbahku sayang.. Aku
mencintaimu, Mbah, tapi Allah lebih mencintaimu... Dia ingin menjagamu disana..
Love you, Mbahkung ku sayang..
Kamar mbah, 2 Juli 2015
Love you, Mbahkung ku sayang..
Kamar mbah, 2 Juli 2015
Turut berduka, ya. Semoga Mbah dapat tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin...
BalasHapusinnalillahi wa innailaihi rojiun..
BalasHapusallahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu..
sediiih bacanyaaaa :')
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus:'')
Hapus