Review Buku Goodbye Things; Hidup Minimalis Ala Orang Jepang



Goodbye Things. Pertama kali mendengar judul buku ini di tahun 2020 tapi sejujurnya belum tertarik membacanya. Pikirku waktu itu, mungkin ini semacam buku panduan minimalis yang ekstrim. Tapi ternyata aku SALAH!



Blurb
Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain—sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki. Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanpa semua “barangnya”, Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini.

Di buku ini, Sasaki secara sederhana berbagi pengalaman hidup minimalisnya, menawarkan tips khusus untuk proses hidup minimalis, dan mengungkapkan fakta bahwa menjadi minimalis tidak hanya akan mengubah kamar atau rumah Anda, tapi juga benar-benar memperkaya hidup Anda. Manfaat hidup minimalis bisa dinikmati oleh siapa pun, dan definisi Sasaki tentang kebahagiaan sejati akan membuka mata Anda terhadap apa yang bisa dihadirkan oleh hidup minimalis.

Informasi Buku



Judul: Goodbye Things, Hidup Minimalis Ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Penerjemah: Annisa Cinantya Putri
Perwajahan Isi: Fajarianto
Desain Sampul: Adaptasi sampul asli
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: November 2018
Cetakan: keenam, Juni 2019


Sekilas Isi Buku
Buku yang terdiri dari 242 halaman ini merupakan terjemahan dari buku berjudul sama, Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism, yang diterbitkan pada tahun 2015.

What a guide yet personal book! Itulah responku ketika selesai menematkan buku ini. Dua kata kunci dari buku menurutku adalah; pedoman dan personal. Pedoman karena berisi beragam tips. Personal karena benar-benar menyadur dari pengalaman pribadi penulis.

Bicara soal gaya hidup minimalis, di Indonesia mungkin gaya hidup tersebut belum terlalu meluas meski dibandingkan beberapa dekade sebelumnya, saat ini sudah lebih berkembang. Namun di Jepang sendiri gaya hidup minimalis ini sudah jauh lebih lama dikenal. 



Diawali dengan foto-foto tampilan tempat tinggal Fumio sebelum dan saat menjadi minimalis membuat kita berkesimpulan betapa kontras perubahan hidup Fumio saat itu. Tak hanya miliknya sendiri, Fumio juga menyertakan foto-foto tempat tinggal para minimalis Jepang mulai dari pasangan suami istri hinggal seorang minimalis penjelajah (backpacker). Eits tapi jangan jadikan ini sebagai "pedoman saklek" ketika kalian menjalani hidup minimalis ya karena pada dasarnya kondisi dan kebutuhan setiap orang berbeda-berbeda.

Di setiap awal bab diawali dengan kutipan dari para tokoh yang berkaitan dengan hidup minimalis. Lumayan but stok status. Ada lima bab dalam buku ini sebagai berikut.

Bab 1: Mengapa Minimalisme
Pada bab ini, pembaca mula-mula diajak mengenal lebih dalam definisi minimalisme dan apa maknanya jika kita menjalani gaya hidup tersebut. Fumio percaya bahwa pada dasarnya dan fitrahnya semua orang mengawali hidup sebagai minimalis karena tak satupun di antara kita terlahir ke dunia membawa barang.

Fumio juga menceritakan hari-harinya sebelum menjadi seorang minimalis. Bagaimana apartemennya dipenuhi dengan barang, membuatnya kurang semangat menjalani hari hingga membuatnya lebih sulit produktif dan kurang terlibat dengan dunia luar.

Fumio melanjutkan dengan cerita hari-harinya saat menjadi minimalis diawali dengan mengurangi barang. Semua bermula ketika ia menyadari bahwa tempat tinggalnya lebih menyerupai kandang hewan ketimbang tempat tinggal manusia. Apartemennya menjadi lebih luang dan rapi, pikirannya lebih damai sehingga ia lebih bersemangat dan produktif. Bahkan ia juga menuliskan barang-barang yang sudah berhasil dibuangnya.

Beberapa subbab atau poin penjelasan lainnya dalam bab ini antara lain:
  • Masyarakat Jepang pernah hidup minimalis
  • Ketika Minimalisme "diimpor" kembali ke Jepang
  • Definisi "minimalis"
  • Minimalisme bukan tujuan akhir
  • Siapakah minimalis sejati?
  • Danshari dan kemunculan minimalisme modern
  • Terlalu banyak informasi
  • Manusia bagaikan perangi keras berusia 50.000 tahun
  • Seperti komputer lamban yang berputar-putar
  • Semua hal bisa dilakukan dengan pins pintar
  • Teknologi membantu minimalisme
  • Budaya "berbagi" dan penyebarannya
  • Bahaya fisik barang


Bab 2: Mengapa Kita Mengumpulkan Begitu Banyak Barang
Fumio mengawali dengan memberikan penguatan bahwa pada dasarnya semua yang kita inginkan sudah kita miliki, alih-alih terus memikirkan barang baru tanpa pernah merasa puas. Seseorang tidak meras apuas dan tidak bahagia karena terbiasa dikeliling barang dimana barang menjadi "alat ukur" bahagia.

Jawaban mengala kita gerus menginginkan barang baru, kemungkinan besar karena rasa bosan pada benda yang biasa ada di sekeliling yang datang dari jaringan saraf. Padahal memiliki sesuatu, menjadi kaya atau sejenisnya tidak membuat kita istimewa, tidak menambah waktu kita dari 24 jam menjadi lebih. Jadi mengapa rasa bosan itu harus dituruti dengan terus membeli barang?

Beberapa subbab atau poin penjelasan lainnya dalam bab ini antara lain:
  • Fungsi jam Apple senilai 50 juta rupiah
  • Perasaan tidak bisa diramaikan
  • Kebahagiaan mengenakan jaket untuk kesepeluh kalinya
  • Dari fungsi Juni hingga nilai modern
  • Kita semua emmil8 "aplikasi" yang bisa mendeteksi rasa sepi
  • Kesepian kucing dan anjing
  • Nilai diri mengarahkan perilaku
  • Memperlihatkan nilai diri
  • Saat barang menjelma menjadi diri kita
  • Rak buku adalah etalase diri saya
  • Ketika barang-barang menguasai kita

Empat poin terakhir begitu menarik tentang bagaimana barang-barang merepresentasikan diri kita, diri kita "dimiliki" barang dan citra diri kita dibentuk oleh barang alih-alh kita yang menguasai barang kita dan menjadikannya media mengantarkan citra diri kita.


Bab 3: 55 Kiat Berpisah dari Barang & 15 Kiat Tambahan Untuk Tahap Selanjutnya dan Perjalanan Menuju Minimalisme
These are the points! Fmuio berbagi tips berpisah dari badang, tak tanggung-tanggung, ada 55 tips. Beberapa di antaranya:
  1. Buang satu barang sekarang juga
  2. Buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang
  3. Tidak perlu cemas akan hadiah yang diterima kalau kita sendiri tidak ingat pernah memberikan apa saja
  4. Membuang memorablia tidak sama dengan membuang kemangan
  5. Tidak perlu membeli karena murah, tidak perlu membeli karena gratis
  6. Bersyukurlah
  7. dan lain-lain
Poin nomor 55 yaitu bersyukurlah, walau ditulis paling akhir tapi bukan berarti paling tidak prioritas, justru sebaliknya. Hal pertama dan utama yang harus dilakukan sebagai refleksi sebelum membuang barang menjadi semakin sulit.

Sementara itu 15 kiat tambahan untuk tahap selanjutnya dan perjalanan menuju minimalisme antara lain:
  1. Memiliki lebih sedikit barang tidak akan mengurangi rasa puas
  2. Minimalism membawa kemerdekaan--ssmakin cepat dilakukan, semakin baik
  3. Membuang barang mengurangi apa yang kita miliki tapi bukan siapa diri kita
  4. Temukan minimalismemu sendiri
  5. Minimalisme adalah metode dan awal mula
  6. dan lain-lain


Bab 4: 12 Hal yang Berubah Sejak Saya Berpisah dari Barang-barang Kepemilikan
Di setiap poin hal yang berubah pada dirinya, Fumio menjelaskan lebih detail melalui poin-poin lagi. Misalnya di poin "saya punya lebih banyak waktu" Fumio memaparkan bagaimana barang-barang yang dimilikinya bisa menyita waktunya lewat "pesan sunyi" minta diperhatikan/dirawat. Tersitanya waktu juga diakibatkan oleh media atau tayangan iklan yang membelenggu.

Namun ketika menjadi minimalis dia lebih punya banyak waktu. Waktu berbelanja, melakukan pekerjaan rumah, bersiap keluar rumah hingga waktu bermalas-malasan yang dihabiskannya pun jadi lebih berkurang dari sebelumnya. Ia juga tak perlu menghabiskan waktu mencari barang karena tidak banyak barang dimiliki akibatnya ia merasa lebih bahagia dan minim stres.

Jika dituliskan, ke-12 poin lainnya antara lain:
  1. Saya lebih punya waktu
  2. Saya lebih menikmati hidup
  3. Kebebasan saya bertambah
  4. Saya tak lagi membandingkan diri dengan orang lain
  5. Saya berhenti mencemaskan pandangan orang lain terhadap diri saya
  6. Saya lebih terlibat dengan dunia sekitar
  7. Daya fokus saya menjadi lebih baik. Saya bisa berkonsentrasi menjadi diri sendiri
  8. Saya lebih hemat dan peduli lingkungan
  9. Saya lebih sehat dan aman
  10. Hubungan antarpribadi saya menjadi lebih bermakna
  11. Saya dapat menikmati momen yang tengah berlangsung
  12. Saya merasakan syukur yang sebenarnya

Ya, dampak yang dialami tak hanya soal barang berkurang, ruang lebih luang namun juga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan kepercayaan dirinya.


Bab 5: "Merasa" Bahagia Alih-alih "Menjadi" Bahagia
Salah satu dampak menerapkan hidup minimalis yang Fumio rasakan dan dirasakan oleh para minimalis lainnya adalah lebih bahagia. Namun Funio lebibsuka menyebut merasa bahagia alih-alih menjadi bahagia. Semua bermula dengan tidak smmaksakan konsep bahagia yang ideal.

Dari sebuah penelitian terhadap saudara kembar identik yang dibesarkan di lingkungan berbeda, ditemukan indikasi adanya standar kebahagian yang berbeda. Seperti beata badan, kita semua memiliki kadar kebahagiaan tertentu yang bersifat tetap. Lima puluh persen kebahagiaan dibentuk oleh kadar alamiah ini. Sementara lingkungan hanya menentukan 10% rasa bahagia  dan. Tindakan kita memberikan 40% rasa bahagia.

Artinya kebahagiaan tergantung pada bagaimana kita meaknainya, ia selalu ada dalam hati kita, bukan di luar diri kita.

Fumio meyakini bahwa minimalisme memaksimalkan 49% kebahagiaan yang berasal dari tindakan kita. Tapi perlu diingat minimalisme  bukanlah tujuan akhir melainkan metode.


Keunggulan Buku
Buku ini semacam a must read untuk mereka yang akan atau sedang menjalani hidup minimalis. Jauh sebelum aku membaca buku ini, jujur aku sempat bereksptasi bahwa si penulis adalah seorang minimalis ekstrem (duh pikiran dari mana yak XD) tapi ternyata begitu selesai membacanya jawabannya: TIDAK.

Sasaki is not very extreme one. Buktinya dia masih menerima bahwa standar minimalis itu berbeda bagi setiap orang, dia juga masih memiliki hobi tapi lebih bijak lagi. Kesimpulan lainnya begitu selesai membaca buku ini adalah, ini benar-benar semacam guide book for minimalist living karena diawali big why, transformasi diri Fumio, berisi beragam tips hingga apa yang berubah pada dirinya. Memang ya pengalaman pribadi itu punya nilai lebih!

Oh ya buku ini juga tersedia dalam bentuk buku elektronik (ebook) di Gramedia Digital. Buku bertema minimalis yang tersedia dalam bentuk elektronik, bagiku adalah sebuah nilai plus banget.

Jadi, gimana, apakah kalian sudah membaca ini? Tertarik menjalani gaya hidup minimalis atu justru sudah memulainya?

3 komentar:

  1. Aku belum baca nih mba. Dari artikel ini tambah pengen baca. Apalagi bersisi penuh tips. Kadang menjalani minimalis masih bingung harus apa lagi dan gimana ya. Berasa belum konsisten dan optimal nih. Masih harus byk belajar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat Mbaak Hikmah! Kita #belajarjadibundaminimalis bs MMID yahh

      Hapus