Dalam buku Minimalist Parenting, mulailah latihan kebugaran dengan apa yang menurut kita menyenangkan, tidak harus berpatokan pada saran pakar X.
Buku ini cukup straight mengajak kita membuang sebanyak barang yang ngga kita butuhkan. Di bab pertama dibahas tips mengenyahkan barang, aku mengistilahkannya "prinsip decluttering".
Beberapa tahun lalu, setiap kali mendengar berita tentang kebakaran hutan dan lahan, aku cenderung "tidak peduli". Mungkin hal ini karena rasa empat iki yang kurang, dan juga wilayah tempat tinggal lu yang notabene jauh dari kawasan hutan. Apakah kalian juga begitu?
Tapi semenjak menerapkan hidup lebih ramah lingkungan di tahun 2020, aku tak lagi menutup telinga. Setidaknya empatiku muncul, seperti yang terjadi beberapa hari lalu.
Saat itu aku membaca sebuah berita kebakaran lahan.
Tapi... Apakah ada yang bisa dilakukan oleh manusia yang hidup jauh dari kawasan hutan untuk mencegah Karhutla?
Nyatanya ADA!
Dunia semakin hari semakin bergerak cepat. Hari ini lagi tren A, lusa udah berubah jadi tren B. Tantangan orang orang khususnya milenial di daerah urban jadi lebih besar; setiap hari harus bangun pagi, mengerjakan serentetan tugas dan pekerjaan bahkan ngga sedikit yang tidak punya waktu me time atau melambat.
Ya, melambat. Beda lho dengan terlambat atau malas dalam arti negatif.
Salah satu, atau bahkan mungkin satu satunya, makhluk hidup yang bisa dijadikan "teladan" untuk hidup melambat, santai namun tetap produktif adalah hewan kungkang.
Menjadi istri dan ibu adalah salah satu fase hidup yang paling adaptif, juggling tapi tak terlupakan. Bener apa betul, Bun?
Setidaknya itu yang aku rasakan di tahun 2017. Aku yang dulunya aktif bergerak gemar berpetualang kesana kemari, seketika harus "mendekam" di rumah bersama makhluk kecil tanpa dosa.
Ditambah aku saat itu baru menyadari banyaknya barang, khususnya pakaian, yang aku punya. Duuuh, mo pengsan! Aku ngerasa sangat overwhelmed!
Ada beragam praktik yang bisa kita lakukan dalam menjalani gaya hidup ramah lingkungan atau minim sampah. Berbagai aspek dan sektor dalam kehidupan kita sangat bisa menjadi tempat praktik tersebut, mulai dari rumah tangga, sekolah, kantor dan lainnya. Di sektor rumah tangga kita bisa menggunakan bahan alami ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan produk rumah tangga. Sebagian lainnya memilih menggunakan jasa refill.
Setidaknya ada dua sistem belanja yaitu layanan pengantaran delivery dan layanan kunjungan. Aku akan bahas berdasarkan pengalaman dan pengetahuanku.
Aku pribadi? Makin sedikit barang, makin sedikit waktu membersihkan, makin bahagia, makin banyak waktu buat baca dan nulis dan main sama anak :D
Makin Sedikit Makin Bahagia, itulah judul buku yang kutamatkan beberapa waktu lalu. Saking bagusnya menurutku buku ini, aku ingin kalian juga menyelami apa sih konten buku ini.
Merawat wajah atau aku biasanya mengistilahkan dengan skincare-ing mulai aku lakukan sejak tahun 2018 saat usiaku sekitar 23 tahun. Entah ini sebuah keterlambatan atau keterlalu-cepat-an. Yang jelas aku tidak merasakan keduanya. Sebelum-sebelumnya aku memang cukup acuh soal perawatan wajah. Untungnya kulit wajahku tidak rewel, nyaris tidak pernah mengalami masalah kulit yang mengganggu.
Perkenalanku dengan skincare-ing bermula ketika aku sedang menghadapi skripsi Oh ya sebagai informasi, aku menikah dan memiliki anak saat masih mengurus skripsi. Mungkin karena energi dan mood terkuras alhasil kulitku sering bermasalah. Sejak itulah aku memulai skincare-ing yang 5 step itu. Iya benar-benar 5 step.
Sejak semakin menekuni hidup minimalis empat tahun terakhir, buku-buku yang aku baca tak jauh tentang minimalis itu sendiri. Aku biasa menyebutnya nilai-nilai hidup minimalis dengan istilsh minimalism, sebuah istilah dalam bahasa Inggris. Hingga akhirnya terpikirkan, apakah dalam bahasa Indonesia artinya Minimalisme?
Decluttering. Kapan kalian terakhir kali melakukan decluttering? Terjadwal ataukah insidental?
Decluttering menjadi istilah yang sering digunakan ketika kita beberes dan mengeluarkan barang-barang dari dalam rumah. Bahkan sebenarnya decluttering bukan soal benda fisik saja tapi juga benda digital hingga pikiran dan perasaan lho! Yap, decluttering erat dengan melepaskan (letting go). Tentu bagi sebagian orang ini bukan hal yang mudah.
Makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Itulah yang menjadi prinsipku selama ini.
Setiap bulannya, warga hanya dikenakan biaya Rp10,000. Harga yang semakin aku dewasa, aku sadari terlalu rendah. Sepuluh ribu rupiah untuk berkilo-kilogram sampah yang dihasilkan setiap rumah!
Di antara ratusan anggota Ibu Profesional, bisa dibilang aku adalah anggota dengan "pergerakan yang lambat". Bagaimana memilah sampah, mengompos dan lain sebagainya, aku tidak paham atau lebih tepatnya belum tertarik mengatahui dan mempraktikkannya. Terlebih saat itu aku baru melahirkan anak pertamaku ditambah menjalani hidup berpindah-pindah (nomaden). Meskipun aku tahu, bagi beberapa orang itu bukanlah alasan.
Aku tahu sampah popok sekali pakai, plastik kresek, sedotan plastik dan lain sebagainya tidak baik untuk bumi tapi aku terus memakainya.... Aku abai tentang isu ini, aku terlalu abai..
Padahal melihat data yang pernah dikeluarkan, Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah setiap harinya! Bahkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan per 2020 menyatakan timbunan sampah nasional mencapai 67,8 ton!
Tersadar dari Miskonsepsi Membakar Sampah
Setelah menikah, aku tinggal di Kabupaten Bogor yang notabene bukan kota besar. Sejak pertama kali mendiami wilayah ini, tidak ada petugas sampah disini sehingga warga memilih membakar sampahnya. Dan keluarga kami termasuk yang melakukannya. Saat itu aku seolah tidak merasa "berdosa" karena merasa kami tidak membuang sampah melainkan membakarnya.
Masih lebih baik membakar sampah, tidak berakhir di TPA, pikirku kala itu.
Hingga akhirnya aku tersadar, apa yang kami lakukan tidak lebih baik daripada membuang sampah ke TPA! Sampah yang kami bakar memang secara kasat mata akan menghilang atau setidaknya menyisakan abu saja tapi asapnya terus membumbung ke udara. Asap pembakaran sampah mengandung beberapa polutan seperti arsen, air raksa, merkuri, karbondioksida, karbonmonoksida, nitrogenoksida dan lain sebagainya. Itulah yang menjadi penyumbang kerusakan laporan ozon di bumi yang punya efek domino.
Bahkan data dari bilang bahwa asap pembakaran 350 kali lebih berbahaya dibandingkan asap rokok! Mengetahui fakta ini, jujur aku sangat shock! Gas beracun pada asap kebakaran ternyata juga dapat memicu kanker, kerusakan hati dan ginjal, mudah lelah hingga iritasi kulit. Selama ini setiap kali orang-orang di wilayah ini termasuk kami dnegan entengnya membakar sampah. Anak-anakpun seringkali menyaksikan. Bukankah ini sama saja mendorong mereka ke dalam jurang bahaya kesehatan?
Aku tahu ini salah, tapi saat itu, jujur aku seperti tak punya pilihan. Tak tahu harus berbuat apa....
TPA Leuwigajah adalah tempat pembuangan akhir sampah yang ada di Kota Cimahi. Gunungan sampah menjulang setinggi 60 meter dan selebar 200 meter itu, entah kapan akan berkurang atau bahkan menghilang. Hingga akhirnya sampah-sampah ini "mengamuk" dan memakan korban.
TPS Leuwigajah sebelum tragedi (sumber: Humas Kota Bandung) |
Saat itu, 21 Februari 2005, hujan terus mengguyur wilayah Cimahi. Tiba-tiba terdengar ledakan keras dari gunungan sampah, diikuti dengan longsoran sampah yang langsung menyapu Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Tercatat 157 jiwa melayang, tentu saja mereka adalah para warga di sekitar TPA yang sebagian besar menggantungkan hidup di TPA.
Pada peristiwa TPS Leuwigajah terjadi ledakan sampah akibat timbunan gas metana (CH4) dari sampah organik yang terbuka bahkan tertutup rapat, ditambah hujan yang terus turun. Sampah-sampah organik ini juga tercampuraduk dengan sampah anorganik bahkan hingga benda berbahaya seperti beling. Semua karena tidak adanya proses pemilahan dan pengelolaan sampah dengan bijak.
Nomor 1-3 aku kirimkan ke Waste4change. Nomor 4 aku kirimkan ke pengelola sampah elektronik. Nomor 5 aku simpan untuk dibuat isi bantal/guling ataupun keset kaki.
Yang masih menjadi pikiran salah satunya adalah minyak jelantah. Sebenarnya aku pernah mendapatkan info pengelola jelantah tapi umumnya berada di luar kota.
Mengapa mengirimkan sampah ke Waste4change? Jawaban utamanya karena di sekitar rumah kami belum ada bank sampah. Dan Waste4change hadir sebagai solusi permasalahan penanganan sampah untuk keluarga kami.
Sayangnya sejak awal mengirimkan, aku tidak pernah mendokumentasikan. Berikut beberapa sampah terpilah yang berhasil terfoto.
"Icham, mulai sekarang kita kurangi sampah yang dibakar yuk. Sampah-sampah susu kemasan Icham, dikumpul saja. Nanti bunda kasih ke Om untuk dibuat sesuatu.""Setiap selesai minum susu (kemasan), Bunda minta tolong Icham taruh sampahnya di wadah sana, boleh?"
Begitulah aku senantiasa sounding ke anakku, Icham. Beruntungnya di memahami, walaupun ada momen tertentu dia lupa atau enggan menaruh di wadah.
Apakah saat itu aku sudah berhenti membakar sampah? Jujur, jawabannya, belum. Tapi setidaknya volume sampah yang kami bakar jauh berkurang karena kehadiran waste4change ini.
Insentif poin diberikan hanya untuk program kolaborasi dengan mitra/brand. Kehadiran Waste4Change membuat tidak ada lagi sampah yang tercampur, semuanya sudah terpilah dan siap didaur ulang secara bertanggungjawab.
Bertemu dengan Waste4change adalah solusi sekaligus rezeki bagiku. Jika saja tidak atau belum bertemu dengan Waste4change, mungkin hingga detik ini atau setidaknya sepanjang 2020 aku belum mulai memilah sampah. Sampai kemudian suami mengabarkan bahwa bank sampah di kantornya baru saja dibuka. Beliaupun segera mendaftarkan diri di bulan Januari 2021. Sungguh aku merasa begitu bahagia, terlebih mereka menerima sampah minyak jelantah, seolah menjadi jawaban atas permasalahanku tempo hari.
Per Februari 2021 akupun menambah lagi kategorisasi pilah sampah dari rumah yaitu kategori minyak jelantah dan karton/kardus/duplex. Setelah mengumpulkan dan memilah selama 2 bulan, di bulan April untuk kali pertama aku menyetorkan hasil pilah sampah dari rumah ke bank sampah terdekat, Bank Sampah Spirit namanya.
Selain minyak jelantah, aku juga menyetorkan bekas kemasan tetrapak dan beragam jenis karton serta kertas. Karena baru berdiri, bank sampah ini belum menerima banyak jenis sampah.
Petugas bank sampah menyambut kami dengan begitu hangat. Pertama-tama setiap jenis sampah yang aku setorkan, ditimbang terlebih dahuli termasuk minyak jelantah. Untuk tetrapak, minimal setor adalah 1 kilogram sedangkan untuk jenis sampah lainnya, sepengetahuanku, tidak ada berat minimal.
Kemudian, hasil setoran kami dicatat dalam buku tabungan bank sampah. Nantinya total setoran kami setiap enam bulan sekali akan diakumulasi dan sebagaimana konsep bank, akan menghasilkan rupiah. meski sejujurnya, rupiah hanyalah bonus. Bertemu dengan tempat penampungan pilah sampah dari rumah dan bisa menyetorkannya sudah merupakan kebahagiaan bagiku. Karena sampahku, tanggungjawabku...
Ada orang-orang yang memilih mengantarkan sampah terpilih mereka ke lembaga daur ulang. Ada pula yang memilih mengirimkan sebagian dan mengolahnya mandiri sebagian.
Perlahan kami mulai mengurangi volume sampah yang berakhir di pembakaran. Kategorisasi pemilahan sampah juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi.
Menyalurkan
Buku Ramadan Untuk Bumi ditulis olehku dan teman-teman komunitas |
Mengompos dan Menanam Kembali (ROT & Regrow)
Mengompos yaitu kegiatan mengolah sampah organik menjadi pupuk cair yang bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman. Dengan mengompos, apa yang kita ambil dari tanah, dikembalikan dengan baik ke tanah. Sedangkan menanam kembali merupakan proses menanam mudah menggunakan salah satu bagian dari bahan pangan. Mengompos dan menanam kembali adalah pengelolaan khusus sampah organik yang bisa dibilang paling efektif.
Semoga aku bisa sesegera mungkin mulai mengompos serta menanam (kembali).
Pada akhirnya aku sampai pada fase ini. Hijrah sampah, aku menyebutnya, sebuah fase kesadaran dan perpindahan dari kebiasaan membuang sampah ke TPA dan membakarnya menuju pemilahan dan pengelolaan sampah secara bijak. Langkah keluarga kami dalam mengelola sampah memang masih tergolong kecil dan sederhana. Tapi semoga yang kecil dan sederhana ini bisa konsisten, syukur-syukur bisa memotivasi yang lainnya dan bisa meng-upgrade kami untuk melakukan langkah yang lebih besar.
Setelah menamatkan buku LAGOM yang menguatkan seni hidup bahagia ala orang Swedia, di bulan November lalu, aku baru mengetahui bahwa ada konsep yang sama di negara Denmark. Namanya HYGGE. Sayangnya, saat itu buku yang tersedia hanya dalam Bahasa asing dan tahu sendiri harganya berapa untuk satu buku terbitan luar negeri?
Yang jelas overbudget.
Beberapa waktu lalu saya mendapatkan cerita dari salah seorang kenalan yang sedang mengalami masalah wajah. Usut punya usut ternyata beliau menggunakan produk perawatan wajah yange di dalamnya emngandung zat berbahaya!
Niat hati ingin glowing, tapi malah jadi pening lantaran wajah breakout.
Ngomongin soal kecantikan siapa sih perempuan di dunia ini yang tidak ingin tampil cantik, atau setidaknya punya wajah "bersih"?
Orang Jepang percaya bahwa setiap manusia memiliki ikigai ( alasan untuk hidup) yang membuat mereka bahagia dan selalu semangat menjalani hidup. Dan buku ini merupakan hasil penelitian terhadap rahasia hidup orang Jepang dengan rata-rata usia di atas 100 tahun (centenarian) yang tinggal di zona biru. Mereka selalu bangun di pagi hari dengan semangat dan aktif bekerja di bidang yang disukai sampai tua tanpa benar-benar "pensiun" -sebuah kosakata yang tidak akan kita temukan dalam bahasa Jepang. Tak heran, jika ikigai telah mengantarkan bangsa Jepang masuk dalam deretan manusia dengan rata-rata harapan hidup tertinggi di dunia.
Itulah setengah bagian dari blurb buku berjudul IKIGAI? Apakah kamu pernah membacanya?
Sudah tiga tahun terakhir sejak aku dan keluarga mulai menerapkan prinsip hidup minimalis. Dan jujur, kami menikmatinya hingga saat ini. Minimalis bukan sekadar pada barang, tapi juga pikiran dan komitmen hidup. Dalam arti, kami hanya "memasukkan" apa-apa yang menurut kami bermanfaat, dibutuhkan dan spark joy bagi kami.
Kalau sebagian orang bilang, masa SMA paling berkesan. Bagiku? Masa kuliah, masa penuh kisah. Unforgettable! Di tahun pertama ...