Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring ditulis oleh seorang dokter psikiatri. Di dalamnya juga bercerita bagaimana bliau melalui fase kedukaan, akibat ditinggalkan anaknya, yang sebensrnya juga masuk ranah medis, tepatnya kesehatan jiwa. Jadi, tidak heran buku ini memuat beberapa istilah medis yang mungkin bagi non tenaga kesehatan ini istilah baru.
Dunia semakin hari semakin bergerak cepat. Hari ini lagi tren A, lusa udah berubah jadi tren B. Tantangan orang orang khususnya milenial di daerah urban jadi lebih besar; setiap hari harus bangun pagi, mengerjakan serentetan tugas dan pekerjaan bahkan ngga sedikit yang tidak punya waktu me time atau melambat.
Ya, melambat. Beda lho dengan terlambat atau malas dalam arti negatif.
Salah satu, atau bahkan mungkin satu satunya, makhluk hidup yang bisa dijadikan "teladan" untuk hidup melambat, santai namun tetap produktif adalah hewan kungkang.
Ketika
masih berusia kanak-kanak, mungkin sebagian dari kita merasa heran dengan
kehidupan orang dewasa. Kita juga menganggap orang dewasa paling berkuasa
dengan melihat contoh orangtua kita sebagai orang dewasa yang paling dekat
dengan kita.
Kita
juga mungkin banyak mendengar nasihat ini itu yang hanya diperuntukkan bagi
orang dewasa.
"Jangan
nonton film itu, itu film orang gede."
"Kalo
ibu bapak kan sudah dewasa, kamu masih kecil."
Setidaknya
itu semua yang aku alami dan rasakan. Bagaimana dengan kalian?
Apa yang kamu lakukan di usia 11-12 tahun?
Saat itu mungkin sebagian besar dari kita berada di kelas 4-6 SD. Mungkin juga sebagian besar dari kita sedang asyik menikmati peralihan dari fase anak-anak ke fase remaja. Itu juga yang aku lakukan.
Intinya bukan sesuatu yang wow banget. Paling paling "hanya" berhasil lulus dari Sekolah Dasar sebagai murid dengan nilai terbaik dan masuk ke SMP Negeri favorit.
Berbeda dengan yang dilakukan anak lelaki kelahiran tahun 2008 dari pasangan Adi Satyalaksana dan Novi W yang bernama lengkap Badiuzzaman Umar Humam atau akrab disapa Umar.
Anak usia 12 tahun nulis buku?
Yap, itu faktanya. Di tahun 2020 saat usianya (masih) 12 tahun, ia menulis sebuah buku! Uniknya lagi, buku itu ditulis sebagai syarat kelulusan di Sekolah Dasar Abinya.
"Wait.. sekolah dasar Abinya?"
"Maksudnya di sekolah swasta milik Abinya?"
Biar terjawab, yuk simak review bukunya berikut ini!
Empat tahun sudah aku menjadi bunda.. empat tahun sudah hidupku sungguh berbeda..
Itulah lirik lagu yang kerap aku nyanyikan di depan anakku. Bukan lagu yang hebat, hanya bait lirik sederhana yang lahir dari realita menjadi seorang bunda versiku. Hmm tapi rasa-rasanya semua ibu sepakat dengan kalimat di atas, bukan begitu, Bun?
Life is like a roller coaster. Ada kalanya kita bahagia, ada kalanya sedih. Ada kalanya bangga, ada kalanya kecewa. Perasaan-perasaan negatif tidak bisa benar-benar dienyahkan. Jika saat ini kami mengalami kejenuhan, burn out, bahkan depresi, mungkin itu salah satu tanda kamu membutuhkan sebuah transisi.
Wait, memang apa sih bedanya transisi dan perubahan?
Aku pribadi? Makin sedikit barang, makin sedikit waktu membersihkan, makin bahagia, makin banyak waktu buat baca dan nulis dan main sama anak :D
Makin Sedikit Makin Bahagia, itulah judul buku yang kutamatkan beberapa waktu lalu. Saking bagusnya menurutku buku ini, aku ingin kalian juga menyelami apa sih konten buku ini.
Sejak semakin menekuni hidup minimalis empat tahun terakhir, buku-buku yang aku baca tak jauh tentang minimalis itu sendiri. Aku biasa menyebutnya nilai-nilai hidup minimalis dengan istilsh minimalism, sebuah istilah dalam bahasa Inggris. Hingga akhirnya terpikirkan, apakah dalam bahasa Indonesia artinya Minimalisme?
Di salah satu grup minimalis yang aku ikuti, cukup banyak yang melontarkan pertanyaan "bagaimana mengurangi screen time?" hingga "bagaimana lepas dari sosial media?". Aku pribadi yang menganut prinsip minimalis juga orang yang menjadikan media sosial sebagai media informasi, branding juga mencari cuan.
Dini Fitria. Nama itu aku tidak asing di telingaku. Aku pertama kali mengenal sosoknya saat menonton salah satu program di stasiun TV yang aku tonton. Senyum khasnya dan pembawannya membuktikan bahwa beliau sangat berpengalaman di dunia jurnalis.
Hingga akhirnya salah seorang bloger senior yang aku kenal, Teh Ani, mengundangku hadir ke acara yang diadakan beliau. Acaranya tidak jauh-jauh dari dunia kepenulisan. Qadarallah aku berhalangan hadir meski saat ingin, karena ada kejadian tidak terduga.
Di dunia digital seperti saat ini rasanya segalanya adalah sebuah keniscayaan. Singkat cerita aku bisa menjalin koneksi dengan Mbak Dini meski baru sekadar dunia maya. Lalu tempo hari di bulan April 2021 aku mengundang Mbak Dini untuk berbagi dengan teman-tema @bukuberjalan.id seputar penulisan fiksk. Disitu beliau cerita tentang calon novel terbarunya, Kekasih Semusim.
Ada kisah cintanya, ada sisi nasionalismenya juga.
"Wah terus benang merahnya dimana? Trus kenapa judulnya Kekasih Semusim?"
Semasa single, bisa dibilang aku minim banget ilmu pengasuhan karena merasa "belum waktunya", "masih jauh" dan pikiran lainnya yang serupa. Sampai akhirnya takdirNya menggariskan aku menikah di saat status diri masih sebagai mahasiswi sarjana. Dan ternyata sebulan setelah menikah, aku dinyatakan hamil. Benar-benar langsung praktik jadi orangtua! Meski syukurnya, aku sempat belajar dalam masa penantian lahirnya si bayi lewat membaca buku, mengikuti seminar hingga berkonsultasi dengan mereka yang sudah berpengalaman terlebih dahulu.
Setelah menamatkan buku LAGOM yang menguatkan seni hidup bahagia ala orang Swedia, di bulan November lalu, aku baru mengetahui bahwa ada konsep yang sama di negara Denmark. Namanya HYGGE. Sayangnya, saat itu buku yang tersedia hanya dalam Bahasa asing dan tahu sendiri harganya berapa untuk satu buku terbitan luar negeri?
Yang jelas overbudget.
Orang Jepang percaya bahwa setiap manusia memiliki ikigai ( alasan untuk hidup) yang membuat mereka bahagia dan selalu semangat menjalani hidup. Dan buku ini merupakan hasil penelitian terhadap rahasia hidup orang Jepang dengan rata-rata usia di atas 100 tahun (centenarian) yang tinggal di zona biru. Mereka selalu bangun di pagi hari dengan semangat dan aktif bekerja di bidang yang disukai sampai tua tanpa benar-benar "pensiun" -sebuah kosakata yang tidak akan kita temukan dalam bahasa Jepang. Tak heran, jika ikigai telah mengantarkan bangsa Jepang masuk dalam deretan manusia dengan rata-rata harapan hidup tertinggi di dunia.
Itulah setengah bagian dari blurb buku berjudul IKIGAI? Apakah kamu pernah membacanya?
Tahun ini masuk tahun ketiga sejak aku menganut prinsip hidup minimalis. Namun sejujurnya baru di pertengahan tahun ini intens membaca beragam buku dengan tema hidup minimalis. Hingga suatu kali aku membaca review sebuah buku bertema tersebut. Judulnya LAGOM. Uhh.. auto penasaran dong!
"Saya menyesal atas apa yang saya lakukan pada anak pertama saya. Dia menjadi pelampiasan inner child saya yang belum selesai. Saya masih terbawa dengan luka pengasuhan masa lalu." tulis salah seorang teman perempuan di sosial medianya.
Rupanya, dia menulis demikian dalam rangka pemulihan diri dan berbagi.
Inner child dan luka pengasuhan. Kedua istilah itu pertama kali kudapatkan sekitar tiga tahun silam, ketika sedang ada di trimester akhir dan mulai aktif mengikuti komunitas para ibu.
Sebenarnya apa sih inner child itu?
Pernahkah kamu merasa hidup seakan begitu berat terlebih ketika melihat barang di rumah begitu banyak, kekhawatiran ini itu? Pernahkah terbayangkan untuk belajar menjadi seorang minimalis? Atau bahkan kamu baru dengar soal minimalis ini?
Tapi rupanya minimalis bukan sekadar soal kepemilikan barang! Aku dipertemukan oleh sebuah buku yang memberiku insight lebih dalam soal minimalist life. Ini dia, review buku Seni Membuat Hidup Jadi Lebih Ringan
Kalau sebagian orang bilang, masa SMA paling berkesan. Bagiku? Masa kuliah, masa penuh kisah. Unforgettable! Di tahun pertama ...