Makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Itulah yang menjadi prinsipku selama ini.
Makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Itulah yang menjadi prinsipku selama ini.
Libur Lebaran bisa dibilang libur paling lama bagi para pekerja dan siswa serta mahasiswa. Sebagai keluarga perjalan, biasanya momen libur panjang termasuk libur Lebaran kami manfaatkan untuk traveling. Bukan traveling mewah tapi traveling sederhana; menggendong kariel dan balita, di seputar Indonesia.
Mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sulawesi kami jelajahi di tiga kali Lebaran yang sudah kami lalui bersama sebagai keluarga kecil. Mulai dari berkunjung ke sanak saudara sampai menjelajahi alam.
Hingga akhirnya untuk kedua kalinya libur Lebaran harus #dirumahaja akibat hadirnya Covid 19. Jujur, aku masih parno ajak anak ke luar kota sekalipun diperbolehkan dengan syarat tes. Jangan ke luar kota, ke wisata satu kecamatan saja, kami sudah libur sejak Market 2020.
Di satu sisi Cham tipe anak bosan-an, harus ada aktivitas bermain sambil belajar "baru" yang dilakukan setiap harinya.
Sampai akhirnya Bunda menemukan solusinya!
Setiap bulannya, warga hanya dikenakan biaya Rp10,000. Harga yang semakin aku dewasa, aku sadari terlalu rendah. Sepuluh ribu rupiah untuk berkilo-kilogram sampah yang dihasilkan setiap rumah!
Di antara ratusan anggota Ibu Profesional, bisa dibilang aku adalah anggota dengan "pergerakan yang lambat". Bagaimana memilah sampah, mengompos dan lain sebagainya, aku tidak paham atau lebih tepatnya belum tertarik mengatahui dan mempraktikkannya. Terlebih saat itu aku baru melahirkan anak pertamaku ditambah menjalani hidup berpindah-pindah (nomaden). Meskipun aku tahu, bagi beberapa orang itu bukanlah alasan.
Aku tahu sampah popok sekali pakai, plastik kresek, sedotan plastik dan lain sebagainya tidak baik untuk bumi tapi aku terus memakainya.... Aku abai tentang isu ini, aku terlalu abai..
Padahal melihat data yang pernah dikeluarkan, Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah setiap harinya! Bahkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan per 2020 menyatakan timbunan sampah nasional mencapai 67,8 ton!
Tersadar dari Miskonsepsi Membakar Sampah
Setelah menikah, aku tinggal di Kabupaten Bogor yang notabene bukan kota besar. Sejak pertama kali mendiami wilayah ini, tidak ada petugas sampah disini sehingga warga memilih membakar sampahnya. Dan keluarga kami termasuk yang melakukannya. Saat itu aku seolah tidak merasa "berdosa" karena merasa kami tidak membuang sampah melainkan membakarnya.
Masih lebih baik membakar sampah, tidak berakhir di TPA, pikirku kala itu.
Hingga akhirnya aku tersadar, apa yang kami lakukan tidak lebih baik daripada membuang sampah ke TPA! Sampah yang kami bakar memang secara kasat mata akan menghilang atau setidaknya menyisakan abu saja tapi asapnya terus membumbung ke udara. Asap pembakaran sampah mengandung beberapa polutan seperti arsen, air raksa, merkuri, karbondioksida, karbonmonoksida, nitrogenoksida dan lain sebagainya. Itulah yang menjadi penyumbang kerusakan laporan ozon di bumi yang punya efek domino.
Bahkan data dari bilang bahwa asap pembakaran 350 kali lebih berbahaya dibandingkan asap rokok! Mengetahui fakta ini, jujur aku sangat shock! Gas beracun pada asap kebakaran ternyata juga dapat memicu kanker, kerusakan hati dan ginjal, mudah lelah hingga iritasi kulit. Selama ini setiap kali orang-orang di wilayah ini termasuk kami dnegan entengnya membakar sampah. Anak-anakpun seringkali menyaksikan. Bukankah ini sama saja mendorong mereka ke dalam jurang bahaya kesehatan?
Aku tahu ini salah, tapi saat itu, jujur aku seperti tak punya pilihan. Tak tahu harus berbuat apa....
TPA Leuwigajah adalah tempat pembuangan akhir sampah yang ada di Kota Cimahi. Gunungan sampah menjulang setinggi 60 meter dan selebar 200 meter itu, entah kapan akan berkurang atau bahkan menghilang. Hingga akhirnya sampah-sampah ini "mengamuk" dan memakan korban.
![]() |
TPS Leuwigajah sebelum tragedi (sumber: Humas Kota Bandung) |
Saat itu, 21 Februari 2005, hujan terus mengguyur wilayah Cimahi. Tiba-tiba terdengar ledakan keras dari gunungan sampah, diikuti dengan longsoran sampah yang langsung menyapu Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Tercatat 157 jiwa melayang, tentu saja mereka adalah para warga di sekitar TPA yang sebagian besar menggantungkan hidup di TPA.
Pada peristiwa TPS Leuwigajah terjadi ledakan sampah akibat timbunan gas metana (CH4) dari sampah organik yang terbuka bahkan tertutup rapat, ditambah hujan yang terus turun. Sampah-sampah organik ini juga tercampuraduk dengan sampah anorganik bahkan hingga benda berbahaya seperti beling. Semua karena tidak adanya proses pemilahan dan pengelolaan sampah dengan bijak.
Nomor 1-3 aku kirimkan ke Waste4change. Nomor 4 aku kirimkan ke pengelola sampah elektronik. Nomor 5 aku simpan untuk dibuat isi bantal/guling ataupun keset kaki.
Yang masih menjadi pikiran salah satunya adalah minyak jelantah. Sebenarnya aku pernah mendapatkan info pengelola jelantah tapi umumnya berada di luar kota.
Mengapa mengirimkan sampah ke Waste4change? Jawaban utamanya karena di sekitar rumah kami belum ada bank sampah. Dan Waste4change hadir sebagai solusi permasalahan penanganan sampah untuk keluarga kami.
Sayangnya sejak awal mengirimkan, aku tidak pernah mendokumentasikan. Berikut beberapa sampah terpilah yang berhasil terfoto.
"Icham, mulai sekarang kita kurangi sampah yang dibakar yuk. Sampah-sampah susu kemasan Icham, dikumpul saja. Nanti bunda kasih ke Om untuk dibuat sesuatu.""Setiap selesai minum susu (kemasan), Bunda minta tolong Icham taruh sampahnya di wadah sana, boleh?"
Begitulah aku senantiasa sounding ke anakku, Icham. Beruntungnya di memahami, walaupun ada momen tertentu dia lupa atau enggan menaruh di wadah.
Apakah saat itu aku sudah berhenti membakar sampah? Jujur, jawabannya, belum. Tapi setidaknya volume sampah yang kami bakar jauh berkurang karena kehadiran waste4change ini.
![]() |
Insentif poin diberikan hanya untuk program kolaborasi dengan mitra/brand. Kehadiran Waste4Change membuat tidak ada lagi sampah yang tercampur, semuanya sudah terpilah dan siap didaur ulang secara bertanggungjawab.
Bertemu dengan Waste4change adalah solusi sekaligus rezeki bagiku. Jika saja tidak atau belum bertemu dengan Waste4change, mungkin hingga detik ini atau setidaknya sepanjang 2020 aku belum mulai memilah sampah. Sampai kemudian suami mengabarkan bahwa bank sampah di kantornya baru saja dibuka. Beliaupun segera mendaftarkan diri di bulan Januari 2021. Sungguh aku merasa begitu bahagia, terlebih mereka menerima sampah minyak jelantah, seolah menjadi jawaban atas permasalahanku tempo hari.
Per Februari 2021 akupun menambah lagi kategorisasi pilah sampah dari rumah yaitu kategori minyak jelantah dan karton/kardus/duplex. Setelah mengumpulkan dan memilah selama 2 bulan, di bulan April untuk kali pertama aku menyetorkan hasil pilah sampah dari rumah ke bank sampah terdekat, Bank Sampah Spirit namanya.
Selain minyak jelantah, aku juga menyetorkan bekas kemasan tetrapak dan beragam jenis karton serta kertas. Karena baru berdiri, bank sampah ini belum menerima banyak jenis sampah.
Petugas bank sampah menyambut kami dengan begitu hangat. Pertama-tama setiap jenis sampah yang aku setorkan, ditimbang terlebih dahuli termasuk minyak jelantah. Untuk tetrapak, minimal setor adalah 1 kilogram sedangkan untuk jenis sampah lainnya, sepengetahuanku, tidak ada berat minimal.
Kemudian, hasil setoran kami dicatat dalam buku tabungan bank sampah. Nantinya total setoran kami setiap enam bulan sekali akan diakumulasi dan sebagaimana konsep bank, akan menghasilkan rupiah. meski sejujurnya, rupiah hanyalah bonus. Bertemu dengan tempat penampungan pilah sampah dari rumah dan bisa menyetorkannya sudah merupakan kebahagiaan bagiku. Karena sampahku, tanggungjawabku...
Ada orang-orang yang memilih mengantarkan sampah terpilih mereka ke lembaga daur ulang. Ada pula yang memilih mengirimkan sebagian dan mengolahnya mandiri sebagian.
Perlahan kami mulai mengurangi volume sampah yang berakhir di pembakaran. Kategorisasi pemilahan sampah juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi.
Menyalurkan
![]() |
Buku Ramadan Untuk Bumi ditulis olehku dan teman-teman komunitas |
Mengompos dan Menanam Kembali (ROT & Regrow)
Mengompos yaitu kegiatan mengolah sampah organik menjadi pupuk cair yang bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman. Dengan mengompos, apa yang kita ambil dari tanah, dikembalikan dengan baik ke tanah. Sedangkan menanam kembali merupakan proses menanam mudah menggunakan salah satu bagian dari bahan pangan. Mengompos dan menanam kembali adalah pengelolaan khusus sampah organik yang bisa dibilang paling efektif.
Semoga aku bisa sesegera mungkin mulai mengompos serta menanam (kembali).
Pada akhirnya aku sampai pada fase ini. Hijrah sampah, aku menyebutnya, sebuah fase kesadaran dan perpindahan dari kebiasaan membuang sampah ke TPA dan membakarnya menuju pemilahan dan pengelolaan sampah secara bijak. Langkah keluarga kami dalam mengelola sampah memang masih tergolong kecil dan sederhana. Tapi semoga yang kecil dan sederhana ini bisa konsisten, syukur-syukur bisa memotivasi yang lainnya dan bisa meng-upgrade kami untuk melakukan langkah yang lebih besar.
Dulu bagiku investasi adalah sebuah barang mewah yang hanya bisa dilakukan oleh "orang kaya" secara materi. Selain itu entah mengapa merasa investasi itu "ribet" juga kekhawatiran mengalami kerugian. Jadilah ketiga pikiran itu membayangiku untuk bisa berinvestasi. Investasi jadi jauh bahkan di luar angan.
Semasa single, bisa dibilang aku minim banget ilmu pengasuhan karena merasa "belum waktunya", "masih jauh" dan pikiran lainnya yang serupa. Sampai akhirnya takdirNya menggariskan aku menikah di saat status diri masih sebagai mahasiswi sarjana. Dan ternyata sebulan setelah menikah, aku dinyatakan hamil. Benar-benar langsung praktik jadi orangtua! Meski syukurnya, aku sempat belajar dalam masa penantian lahirnya si bayi lewat membaca buku, mengikuti seminar hingga berkonsultasi dengan mereka yang sudah berpengalaman terlebih dahulu.
Di awal menjalani hidup minimalis tiga tahun silam, aku melakukan declutteriny besar-besaran termasuk decluttering pakaian. Sejak saat itu pula aku jauh lebih selektif ketika membeli pakaian, baik untuk diri sendiri, suami maupun anak. Bukan saja soal alasan ekonomi tapi alasan ruang dan sisi keberlanjutan.
Kalau sebagian orang bilang, masa SMA paling berkesan. Bagiku? Masa kuliah, masa penuh kisah. Unforgettable! Di tahun pertama ...