Mau Dibawa Kemana Sisa Konsumsi (Kita)?

 



"Buang saja ke kali. Ikat yang kencang."

Begitulah kurang lebih jawaban yang aku dapatkan ketika awal-awal tinggal di kampung ini dan mengalami kebingungan perihal membuang sampah.


Mendengar jawaban itu aku menelan bulat-bulat saja. Itu, tiga tahun yang lalu..



Saat itu aku belum "tergerak" untuk memilah sisa konsumsi (selanjutnya aku mengganti istilah sampah dengan sisa konsumsi, pada artikel ini). Masih terbiasa dengan pola lama sejak kecil, setorkan ke petugas kebersihan.

Sebagai informasi, aku tinggal di sebuah desa atau kampung di Kabupaten Bogor. Kabupaten ini memiliki luas 2664 hektar, berkali-kali lipat lebih luas dari kotanya sendiri.

Di kampung tempat aku tinggal tidak ada satupun petugas kebersihan yang rutin bahkan pernah datang ke kampung ini. Aku pribadi tidak tahu alasan pastinya. Hanya saja dulu pernah beberapa kali melihat petugas dinas kebersihan dengan truknya berhenti di depan gang,  mengambil sisa konsumsi yang ada di tepi jalan. 

Dulu aku sempat berpikir, mungkin dia mengangkut sisa konsumsi warga di gang sini. Akhirnya aku mencoba membuang sisa konsumsi di pojok gang, tempat dimana sisa konsumsi lain juga berserakan disana.

Kemana Aku (Dulu) Membuang Sisa Konsumsi?

Menurut pemantauan suami, sisa konsumsi diangkut setiap hari Rabu. Maka setiap Selasa sore kami selalu bergegas meletakkan bungkusan sisa konsumsi disana. Dan memang benar, keesokan sorenya (sisa konsumsi) sudah terangkut.

Hingga suatu ketika, ada sebuah papan dengan tulisan besar "dilarang buang sampah disini". Akhirnya aku tahu bahwa tempat kami biasa meletakkan sampah tersebut adalah ilegal. Petugas yang biasa mengambil bukanlah petugas kebersihan sebagaimana biasanya, melainkan mereka melakukan patroli terhadap tempat pembuangan sisa konsumsi ilegal. 

Ragam Fenomena Pembuangan Sisa Konsumsi Ilegal

Dari hasil pelansiranku, aku menemukan fakta bahwa di tahun 2019 lalu, KLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel tempat pembuangan sampah ilegal di Kampung Jampang, Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor dengan memasang papan peringatan dan garis PPLH.

sumber: KLHK


Lokasi pembuangan sampah ilegal seluas 1.500 meter persegi itu diduga milik PL, warga DKI Jakarta, yang juga pemilik PT Tormos yang berada tidak jauh dari lokasi itu. Luasnya sekitar 17.000 meter persegi.

Setiap hari setidaknya satu unit pick-up sisa konsumsi dari pengelola perumahan daerah sana dan satu gerobak dari masyarakat lainnya dibuang. Aktivitas ilegal ini ternyata sudah berlangsung lebih dari tiga tahun! Lokasi itu dulunya adalah lahan rawa yang relatif dalam dan lebih rendah posisinya dibandingkan dengan lahan yang digarap.

Tak hanya itu, di beberapa titik juga banyak dijumpai tempat pembuangan sisa konsumdi ilegal. Tak sedikit lokasinya persisi di pinggir jalan, bertepian dengan badan jalan. Tentu kebayang dong bagaimana sangat merusak pemandangan dan tentunya sangat tidak menyehatkan? Sisa konsumsi yang dibiarkan begitu saja tidak akan hilang, justru menghasilkan beragam bakteri, kuman bahkan penyakit.

Mau Dibawa Kemana Sisa Konsumsi (Kita)?

Kembali kejawaban yang saya dapatkan. Memang disini ada kali besar. Setelah saya lihat, kondisinya sangat tidak nyaman di mata (memang ada sungai atau kali yang bersih di Jabodetabek ya? Hehe). Airnya coklat kehijauan. Di kanan kiri terdapat sampah, bahkan sampah dalam keadaan plastik terbungkus, entah apa isinya. Pastinya dia tidak mungkin menguap atau hilang begitu saja.

Kali di sekitar tempat tinggalku (1)
sumber: dokumen pribadi

Kali di sekitar tempat tinggalku (2)
sumber: dokumen pribadi

Di kali inilah warga biasanya membuang sampah yang tidak bisa dibakar atau ditimbun, seperti bekas pospak, bekas pembalut dan lain sebagainya. Terlihat di bantaran kali sampah-sampah bertumpuk. Di area yang aku foto memang kelihatannya tidak seberapa, tapi ke arah lurus sana, tampak lebih banyak.




Tidak hanya metode buang di kali, sebagian besar warga disini juga membuang sampah dengan dibakar dan ditimbun. Aku pribadi lebih sering melihat warga membakar sampah dengan asap membumbung ke udara yang dihirup oleh siapapun, tua-muda, lansia hingga balita. Dulu kuanggap itu adalah cara terbaik, alih-alih membuang ke TPS/TPAS. Tapi setahun terakhir aku menyadari bahwa pemikiran ini sama sekali salah!

Secara fisik tampilan sisa konsumsi memang berubah menjadi abu, tapi dalam proses pembakarannya, ia menghasilkan ribuan zat berbahaya bagi makhluk hidup terlebih manusia. Bahkan sebagian literatur yang kubaca menyatakan, asap-asap itu lebih berbahaya dari asap rokok!

Oh ya karena terbiasa membakar sampah, tentunya dapat dengan mudah ditemukan kerukan untuk membakar sampah. Yang terdekat dengan tempat tinggalku, posisinya persis di depan rumah. 



Ada pula di pinggir bantaran kali. Dan tempat-tempat lainnya. Di setiap kumpulan rumah, di lahan kosongnya, pasti ditemukan.


Baca Juga: Bijak Kelola Sampah Mulai dari Rumah

Dan beberapa hari lalu, aku menanyakan pertanyaan yang sama. Bedanya, saya sudah mulai tersentuh untuk memilah sampah dan berhenti sama sekali membakar sampah. Jawabannya masih sama. 

"Buang saja ke kali. Ikat yang kencang."

Kondisinya pun masih sama. Tidak ada petugas kebersihan. Warga masih membakar dan menimbun.

Oh ya memang wilayahku adalah perkampungan di dalam gang yang berbatasan langsung dengan jalan besar. Berjarak sekitar 3 km ada komplek perumahan. Sebagian besar rekan kerja suami tinggal disana. Aku mencoba menanyakan soal petugas kebersihan disana dan memang secara berkala ada petugas kebersihan yang datang ke komplek tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan antara perkampungan dan perumahan. Namun ketika kutanyakan kemana sisa konsumsi dibawa oleh petugas kebersihan mereka tidak tahu.  

Akhirnya aku melakukan pelansiran daring kembali, sebenarnya dimana TPS terdekat di wilayah sini? Hingga kutemukan jawabannya adalah TPAS Galuga, tempat pembuangan akhir dan terbesar bagi warga kota Bogor. Meski "judulnya" untuk warga kota, namun secara geografis lokasinya di kabupaten Bogor.

Kecamatan Cibungu, Kabupaten Bogor tepatnya TPAS Galuga ini berlokasi. Luasnya 36 hektare, namun yang terpakai hanya sekitar 13 hektare untuk TPA.

sumber: Bogor Network


Pada 2019, data yang diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor, dalam sehari, produksi sampah mencapai 2.850 ton, namun hanya 700 ton sampah yang bisa terangkut. Sisanya 2.150 ton menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Bila engkau sudah merasa gelisah dengan sampah. Bersyukurlah, itu tandanya engkau mau berubah.

Kalimat dari Ibu DK Wardhani, sedikit gubahan dari saya. Saya rasakan kegelisahan itu sejak setahun terakhir. 

Akhirnya kami memilih....

Memilih untuk mengelola sisa konsumsi keluarga kami dengan lebih bijak, yaitu dengan memilah dan menyalurkan ke lembaga daur ulang.

Akhirnya kami memilih..

Memilih untuk mengelola barang tidak terpakai karena rusak atau tidak kami buuhkan dengan cara yang lebih bijak, yaitu menyalurkan ke yayasan yatim dhuafa yang kemudian menjualnya untuk biaya penghidupan yatim dhuafa atau ke lembaga penerima barang bekas lainnya. Alih-alih dibakar, ditimbun atau bahkan dibuang begitu saja.

Bismillah.. semoga kami sekeluarga Istiqomah... 

Saya berkomitmen berhenti membakar sisa konsumsi, membuang ke landfill (TPAS/TPS) maupun cara-cara tak bijak lainnya dalam memperlakukan sisa konsumsi. Target saya adalah mampu secara konsisten memilah sisa konsimsi. Target berikutnya adalah menyelesaikan #kelasbelajarzerowaste dengan sebaik-baiknya. Target setelahnya adalah mulai mengompos dan mengurangi sisa konsumsi utamanya kemasan plastik dengan cara-cara yang bisa keluarga saya lakukan. Saya ingin membawa sisa konsumsi saya ke tempat dimana ia bisa diperlakukan dengan bijak dan terolah menjadi sesuatu yang baru.



Referensi:

https://news.detik.com/berita/d-4596390/meresahkan-warga-pembuangan-sampah-ilegal-di-bogor-disegel-klh

https://www.metropolitan.id/2018/07/jembatan-salabenda-jadi-tempat-pembuangan-sampah/

https://kompas.com/regional/read/2019/06/22/17133871/kabupaten-bogor-darurat-sampah-bupati-terapkan-sistem-zonasi


Tulisan ini dibuat dalam rangka menyelesaikan #games1bzw oleh @bbelajarzerowaste_id #belajarzerowaste #kelasbelajarzerowaste2021 #kelasbzw2021 #bzwbatch8

23 komentar:

  1. Berarti dari awal udah dipisah ya Mbak mana sampah yg bisa didaur ulang mana yang nggak? Dulu aku sempet mau begitu, tapi cuma tinggal rencana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku beginner mbak hehe baru per awal 2021 ini.

      Hapus
  2. Mengolah sampah menjadi kompos jadi pilihan bijak untuk kurangi sampah. Ngga gampang krn pelru komitmen tinggi. Salut jika sudah bisa memulai dan berlangsugn lama.

    BalasHapus
  3. Dibuang ke sungai atau pun dibakar sama-sama punya masalah ya. Masalah sampai ini perlu dibenahi dari hulu ke hilir sih, nggak bisa hanya sistem pembuangannya. Ya, salah satunya dengan pola hidup zerowaste ini.Sebisa mungkin dari kitanya dulu sebagai konsumen, jangan menghasilkan banyak sampah.

    BalasHapus
  4. Semoga targetnya tercapai dan komitmennya dilancarkan ya. Aku masih tahap memilah saja sampah yang ada di rumah, seminimal mungkin tak tak ada sisa konsumsi yang terbuang. selanjutnya tak serahkan saja sama yang mengurusnya, hiiii.
    Soalnya selalu teringat juga kata orang tua, jangan suka membuang sisa makanan, pamali. jadi masak pun secukupnya.

    BalasHapus
  5. ternyata ya, kita hidup di era milenial tapi gak tau cara membuang sampah konsumsi masyarakat milenial

    harusnya memang ada pembagian tugas, mana tugas konsumen,produsen dan pemerintah. Sayangnya pemerintah nampak abai ya?

    BalasHapus
  6. Soal memilah sisa konsumsi ini yang saya masih bingung. Jika kita mau memindahkan pakaian bekas dengan mengantarkannya ke yatim piatu, apakah harus pakaian yang masih bisa dipakai? Kalau pakaiannya sudah rusak karena sobek, atau karena sudah bernoda, apakah masih layak untuk dipakai atau menjadi pilihan untuk masuk landfill?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo ke yatim piatu iya kak masih layak pakai. Soal pakaian tak layak pakai, aku bahas caraku #bijakmembuang. Ada di post terbaruku.

      Hapus
  7. Paling sneng kalau nemu artikel yang isi nya mengangkat isu lingkungan hehe. Saat ini aku juga masih belajar nih mba Visya. Pengen banget semua yang aku pakai gak sampai merusak lingkungan. Semoga semakin banyak orang yang lebih aware akan lingkungan aamiin ;)

    BalasHapus
  8. Sayang sekali kita liat sungai daei yang seharusnya jernih jadi keliatan kumuh akibat banyaknya sisa makanan yang dibuang ke sana ya kk, semoga deh masyarakat makin sadar dan peduli dengan lingkungan sekitarnya, hehehe

    BalasHapus
  9. Soal sampah memang dari dulu permasalah semua kota di Indonesia, mau dibakar dibuang disungai semua sama saja, merugikan jugaa, mungkin harus lebih selfreminder lg, mengurangi pemakaian plastik yg sulit untuk didaur ulang

    BalasHapus
  10. Aku juga dipisah Mbak, sampah yg masih bisa didaur ulang aku taruh tempat khusus buat dijual ke tukang rongsokan. Kalau organik dimanfaatkan untuk pupuk atau pakan ternak. Nah yang plastik ini mau gak mau dibakar. Karena di sini kampung gak ada lembaga yang bisa mengolahnya. Huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak lokasinya dimana? Aku bantu kasih rekomendasi bank sampah ya..

      Hapus
  11. Sampah pospak ini yang saat ini jadi problema yah mbak..karena paling banyak dikonsumsi dan belum banyak yg bisa mengelola sampah pospak.

    Mudah-mudahan targetnya segera tercapai yah mbaak...aku masih dalam tahap memilah sampah saja...

    BalasHapus
  12. emang harus komit banget sama diri sendiri ya mba kalau mau hidup zero waste, harus konsisten. tapi kalau bukan kita yang mengawali ya gak akan mulai - mulai, one smnall step untuk perubahan yang lebih besar

    BalasHapus
  13. benar ya mbak, harusnya sisa konsumsi kita menjadi tanggung jawab kita
    menerapkan gaya hidup zero waste adalah keharusan dan juga menjadi langkah kita bersama

    BalasHapus
  14. Bakar sampah atau buang ke kali itu cara jadul dan problematik sekali, ya. Semoga generasi kita tidak ada lagi yang melakukannya.. Semangat untuk pencapaian targetnya, mbak

    BalasHapus
  15. Sayangnya sekarang juga masih banyak yang buah sampah ke kali, jadi kalau hujan deres ya begitu. Semoga makin banyak yang peduli akan sampah dan lingkungan juga, apalagi dengan konsumsi sendiri ya

    BalasHapus
  16. Di sebelah rumah ortuku ada sungai. Dulu waktu kecil juga dibilanginnya gitu. Buang aja ke sungai. Kalau sekarang nggak berani. Jadi suka bilang sama Mama jangan buang sampah ke sungai.

    BalasHapus