Buah nanas ternyata mendatangkan cuan bukan hanya lewat budidaya dan olahan buahnya, namun juga dari daun nanas yang notabene dianggap limbah. Bagaimana bisa? Siapa yang melakukannya?
Buah nanas ternyata mendatangkan cuan bukan hanya lewat budidaya dan olahan buahnya, namun juga dari daun nanas yang notabene dianggap limbah. Bagaimana bisa? Siapa yang melakukannya?
Semasa kecil, wilayah jangkauanku hanya sekitar Jakarta Selatan. Biarlah saat kuliah di daerah Jakarta Timur aku mulai merambah Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Bagaimana dengan Jakarta Utara? Jujur, baru dua kali aku ke daerah sana tepatnya ke rumah salah seorang teman di daerah Warakas.
Jauh sebelum mengenal gaya hidup minim sampah, aku “akrab” dengan pemakaian styrofoam saat jajan di luar. Aku tidak tahu bahwa bahaya, terlebih jika makanan dalam kondisi panas, mengintaiku!
Terletak di lokasi strategis Lombok Tengah-Nusa Tenggara Barat, sekolah inovatif kami menempatkan siswa sebagai jantung pembelajaran. Merangkul keunikan setiap anak, kami mendorong rasa ingin tahu melalui eksplorasi yang dipimpin oleh anak. Berakar pada aktivitas berbasis alam, kami membina warga global yang penuh kasih dan percaya diri.
Itulah sekilas tentang Yayasan Anak Alam yang dibangun oleh Baiq Dewi Yuningsih. Rasa prihatin dan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak di lingkungan sekitarnya, Lombok dan Sumbawa, membuatnya tergerak mengadakan kelas belajar di salah satu ruangan rumahnya. Mulanya hanya tiga anak yang diajarnya, kemudian berkembang menjadi 30 anak hingga seluruh area rumahnya dijadikan rumah belajar yang diberi nama Anak Alam.
Kilas balik awal pandemi tahun 2024 lalu memang sangat tak terlupakan. Manusia-manusia di bumi “dipaksa” untuk beradaptasi dengan segala perubahan, mulai dari kebiasaan kesehatan hingga ke pendapatan, salah satunya dengan memakai masker.
Masker menjadi yang sangat dicari pada masanya bahkan sampai menyebabkan harganya melonjak tajam. Masker, khususnya masker medis, juga yang menjadi penyumbang sampah terbesar.
Coba lihat produksi sampah harian kita, di antara anorganik dan organik, manakah yang paling banyak?
Jika pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka jawabannya adalah organik. Sebut saja, sisa potongan sayuran, kulit buah, biji buah, kulit bawang dan lain sebagainya, semua termasuk dalam sampah organik.
Memang, dari data yang aku baca, sampah organik menempat posisi top of mind untuk kategori sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia. Eits meskipun begitu pastikan kita bijak membuang sampah-sampah kita ya. Mulai dengan memilah dan menyetorkan ke tempat yang seharusnya; anorganik ke bank sampah dan organik dikompos/dimasukkan ke lubang biopori atau diberikan ke larva black soldier fly alias larva BSF. Apa itu larva BSF? Lalat kah? Kok lalat bisa makan sampah organik?
Tata Boga. Apakah di sekolah kalian dulu ada ekstrakurikuler tersebut? Di SMP tempat aku belajar belasan tahun silam, ada. Bahkan itu menjadi mata pelajaran wajib. Tak puasa sekadar belajar di ruang kelas (padahal disertai praktik juga), aku juga mengambil ekstrakurikuler (ekskul) Tata Boga!
Plastik adalah kawan, tapi juga bisa jadi lawan. Awal mula terciptanya plastik memang adalah untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun mengapa pada akhirnya justru manusia bermudah-mudah menggunakannya?
Bumi tidak sedang baik baik saja. Ulah manusia menjadi faktor terbesar yang menjadi penyebabnya. Lho kok bisa?
Perubahan Iklim, Gas Rumah Kaca & Jejak Karbon
Jejak karbon. Sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah tersebut. Jejak karbon atau carbon footprint merupakan ukuran jumlah total dari karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya.
Perjalananku hidup minim sampah dimulai sejak 2020. Praktik pertama yang kulakukan saat itu dan hingga saat ini adalah memilah sampah dan berhenti membakarnya. Perjalanan memikah sampah keluarga kecilku ditemani bank sampah yang berbeda-beda. Di awal kami menyetorkan ke bank sampah kantor. Namun karena baru rintisan sehingga kategori sampah yang diterima terbatas, kami beralih ke lembaga daur ulang lain. Saat itu bertahan hingga awal 2022 lembaga tersebut tidak lagi mengkaver domisiliku. Sedih banget rasanya :(
Tiga tahun lalu duniaku berubah. Semua berawal ketika aku melihat gunungan sampah di TPA sekaligus membaca artikel tentang bahayanya membakar sampah. Ya, duniaku berubah karena semenjak saat itu aku berusaha mengurang produksi sampah, sesederhana membawa wadah ketika membeli makan minum di luar, alih-alih memakai kemasan sekali pakai dari penjual dan membawa minum saat ke luar rumah alih-alih membeli air mineral dalam kemasan.
Mungkin sekilas terlihat sepele.
"Ah hanya satu kantong plastik."
"Ah, hanya satu kantong plastik kecil."
Jika kalian rutin mmbaca berita mungkin akan menyadari bahwa salah satu berita yang viral akhir-akhir ini adalah soal TPA yang ditutup akinat kepenuhan maupun kebakaran, khususnya di daerah Jogja dan Bandung. Warga merasa "kelimpungan" dengan semakin menumpuknya sampah di rumah. Apalagi sampah tersebur dicampur antara organik dan anorganik. Akibatnya muncul hewan dan bau tak sedap
Ternyata dampak TPA ditutup membuat kesadaran warga terhadap mengompos dan membiat lubang biopori; solusi mudsh mengelola sampah organik. Konten-konten terkaot pegelolaan sampah organik pun senakij ramai dicari. Para pegiat zero waste boleh berbangga hati.
Selama datang bulan Oktober! Bulan dimana normalnya musim penghujan sudah tiba sejak bulan Agustus-September, namun kenyataannya? Ya, kemarau masih berkepanjangan. Tak hanya di Jabodetabek namun merata di seluruh Indonesia. Satu pertanyaan yang langsung muncul di otakku; bumiku kenapa??
Apakah kalian juga punya pertanyaan yang sama?
"Lho, lho apa hubungannya kondisi bumi dengan kekeringan?!"
Amilia Agustin, atau akrab disapa Ami adalah seorang perempuan asal Bandung yang juga alumni salah satu universitas di Bali. Ada yang unik dari perempuan ini. Sejak SMA ia mendapatkan julukan 'Ratu'. Eits bukan ratu pads umumnya, tepatnya Ratu Sampah Sekolah.
Ya, julukan "Ratu Sampah Sekolah" didapatnya karena kepeduliannya terhadap masalah sampah dan lingkungan sejak duduk di bangku SMA.
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat dalam "menyingkirkan" sampah mereka. Sebagian melakukannya dengan bijak, sebagian lainnya tidak. Contoh pengelolaan bijak adalah dengan memilah, daur ulang dan sejenisnya. Sementara yang kurang atau bahkan tidak bijak adalah membuang ke tanah terbuka hingga membakarnya.
Kapan terakhir kali hujan turun di tempat tinggal kalian? Kemarin, lusa, pekan lalu, dua minggu lalu atau bahkan sebulan lalu?
Di daerah tempat tinggalku sendiri hiujan tersakhir turun beberapa hari lalu setelah "libur" selama berminggu-minggu lamanya. Itupun intensitasnya ringan.
Semua ini berdampak pada kekeringan. Warga di sekitar tempat tinggalku benar-benar mengalami apa yang disebut kekeringan; air menyala dengan aliran sangat kecil sehingga membuat mereka harus mmgambil air dari lokasi lain atau bahkan membeli air. Sungguh miris.
"Ah ini mah musin kemarau biasa. Indonesia kan emang punya musim kemarau.. "
Namun.. sadarkah kalian bahwa musin kemarau kali ini tuh terasa jauh lebih lama dan menantang?
Beberapa tahun lalu, setiap kali mendengar berita tentang kebakaran hutan dan lahan, aku cenderung "tidak peduli". Mungkin hal ini karena rasa empat iki yang kurang, dan juga wilayah tempat tinggal lu yang notabene jauh dari kawasan hutan. Apakah kalian juga begitu?
Tapi semenjak menerapkan hidup lebih ramah lingkungan di tahun 2020, aku tak lagi menutup telinga. Setidaknya empatiku muncul, seperti yang terjadi beberapa hari lalu.
Saat itu aku membaca sebuah berita kebakaran lahan.
Tapi... Apakah ada yang bisa dilakukan oleh manusia yang hidup jauh dari kawasan hutan untuk mencegah Karhutla?
Nyatanya ADA!
Apa yang umumnya dipikirkan masyarakat tentang kehidupan pemulung?
Tidak berarturan, jorok, tidak bersih dan beragam stigma negatif lainnya. Itulah tanggapan yang sebagian besar disampaikan maayarakat. Padahal pemulung harus diberdayakan untuk mengubah stigma negatif dan menaikkan taraf hidup mereka yang terpinggirkan dan termarjinalkan. Setidaknya itulah visi awal Siti Salamah, penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2021 Kategori Kelompok.
Memulai "karier" pada tahun 2015 dengan mendirikan Taman Maghrib Mengaji, yang kemudian menjadi Rumah Pohon, Siti membantu anak pemulung mendapatkan pendidikan non-formal sekaligus spiritual yang berdampak baik pada karakter mereka.
Bertahun-tahun lamanya perempuan berusia 34 tahun ini mendedikasikan diri bagi ribuan pemulung di Jurang Mangu Timur, mulai dari pendidikan hingga pemberdayaan ekonomi.
Kalau sebagian orang bilang, masa SMA paling berkesan. Bagiku? Masa kuliah, masa penuh kisah. Unforgettable! Di tahun pertama ...