Buah nanas ternyata mendatangkan cuan bukan hanya lewat budidaya dan olahan buahnya, namun juga dari daun nanas yang notabene dianggap limbah. Bagaimana bisa? Siapa yang melakukannya?
Buah nanas ternyata mendatangkan cuan bukan hanya lewat budidaya dan olahan buahnya, namun juga dari daun nanas yang notabene dianggap limbah. Bagaimana bisa? Siapa yang melakukannya?
Semasa kecil, wilayah jangkauanku hanya sekitar Jakarta Selatan. Biarlah saat kuliah di daerah Jakarta Timur aku mulai merambah Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Bagaimana dengan Jakarta Utara? Jujur, baru dua kali aku ke daerah sana tepatnya ke rumah salah seorang teman di daerah Warakas.
Jauh sebelum mengenal gaya hidup minim sampah, aku “akrab” dengan pemakaian styrofoam saat jajan di luar. Aku tidak tahu bahwa bahaya, terlebih jika makanan dalam kondisi panas, mengintaiku!
Sejak duduk di bangku mahasiswa, sejak aku mulai menjelang wilayah Timur Indonesia aku mendapati bahwa wilayah timur begitu indah termasuk pada bentang alamnya. Hal ini diamini oleh suami yang kebetulan menghabiskan masa remaja dan beberapa tahun masa dewasa di bagian timur Indonesia. Pantai, gunung dan lembah yang seolah masih terjaga “kesuciannya” menjadi peneman hari-hari warga lokal dan penyambut para wisatawan.
Desa Ngilngof di provinsi Maluku Tenggara, adalah satu dari sekian banyak desa di wilayah Timur Indonesia. Umumnya, masyarakat disana bermata pencaharian pada sektor pariwisata dan perikanan, pelestarian terumbu karang, budidaya lamun dan bakau, serta pembuatan paket wisata Eco Tourism.
Bekantan. Apakah kamu familiar dengan hewan tersebut?
Untuk kita yang tinggal di pulau selain Kalimantan mungkin tidak terlalu familiar, berbeda halnya dengan mereka para warga lokal di Kalimantan, Bekantan adalah bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dapat ditemukan di daerah hutan bakau dan mangrove di Pulau Kalimantan, Indonesia, serta di beberapa bagian Malaysia dan Brunei Darussalam. Kalau ingat Kalimantan, jujur saja, aku langsung teringat bencana kebakaran hutan disana.
Kira-kira bagaimana nasib bekantan Kalimantan saat ini?
Mengenal Lebih dalam Bekantan
Bekantan, atau Nasalis larvatus, adalah sejenis primata yang dikenal juga sebagai monyet hidung belalai. Bekantan memiliki ciri khas hidung yang besar dan panjang, terutama pada jantan, dan sering dianggap sebagai simbol keanekaragaman hayati daerah tersebut. Bekantan dewasa jantan dapat mencapai panjang sekitar 66–75 cm, sedangkan betina sedikit lebih kecil.
Bekantan adalah hewan sosial yang hidup dalam kelompok, yang biasanya terdiri dari satu jantan, beberapa betina, dan anak-anak. Mereka aktif pada siang hari (diurnal) dan sering terlihat bergelantungan di dahan pohon atau melompat dari satu pohon ke pohon lain. Bekantan merupakan primata folivora karena pakan utamanya berupa pucuk dedaunan.
Musim kawin bekantan biasanya terjadi sepanjang tahun, tetapi dengan puncak tertentu. Betina melahirkan satu anak setelah masa kehamilan sekitar 5-6 bulan. Anak bekantan biasanya bergantung pada induknya selama beberapa bulan sebelum mulai belajar mandiri.
sumber: istock/Miskani
Saat ini, bekantan termasuk dalam daftar spesies yang terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) terutama karena kehilangan habitat akibat deforestasi dan kerusakan lahan. Bekantan adalah hewan yang menarik dan memiliki peranan penting dalam ekosistem, sehingga upaya pelestariannya sangat krusial untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka.
Sahabat Bekantan Indonesia, Wadah Belajar dan Pelestarian Bekantan
Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) hadir dengan misi ‘Save Our Mascot’ untuk menyelamatkan bekantan dan melestarikan habitatnya.
SBI didirikan oleh Dr. Amalia Rezeki yang merupakan peneliti bekantan dan lahan basah sekaligus dosen Pendidikan Biologi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
sumber: Instagram Sahabat Bekantan Indonesia
sumber: bekantan.org
Ada tiga program utama dari SBI antara lain:
Buy-back Land
Pulau Curiak di Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menjadi daerah yang dipilih oleh SBI. Di pulau tersebut ada banyak sekali lahan yang semula merupakan hutan mangrove dan habitat bekantan serta keanekaragaman hayati lahan basah lainnya dibeli oleh pengusaha dan dialihfungsikan menjadi kawasan industri dan pemukiman. Dimulai dengan menyelamatkan habitat bekantan, SBI membeli kembali, walau sejengkal demi sejengkal lahan-lahan tersebut
Restorasi Mangrove Rambai
Lahan-lahan yang sudah dibeli kembali kemudian direstorasi dan ditanami pohon mangrove rambai yang dapat menyerap karbon dioksida empat kali lebih banyak dari hutan tropis lainnya.
Pulau Curiak yang menjadi pilot project kegiatan konservasi bekantan oleh SBI pertama kali ditemukan pada tahun 2014 dan hanya terdapat 14 ekor bekantan didalamnya, namun per tahun 2024 sudah terdapat penambahan populasi bekantan lebih dari 100% menjadi 52 ekor. Penambahan populasi bekantan ini di iringi dengan penambahan lahan menjadi hampir dua kali lipat yakni menjadi yang awalnya hanya 2,72 hektare dan sekarang menjadi 4,01 hektare. Di seberang Pulau Curiak terdapat lahan yang dihutankan kembali dengan penanaman 10.000 pohon mangrove rambai sebagai zona penyangga habitat bekantan sejak 2015. Lahan tersebut membentuk pulau delta baru di kawasan Sungai Barito yang sekarang dihuni oleh sekelompok bekantan. Kawasan tersebut dinamai Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak.
SBI juga punya program Adopsi Bekantan. Program ini bertujuan menyelamatkan bekantan yang tadinya dipelihara oleh masyarakat dan nantinya akan dilepasliarkan kembali ke alam.
Pemberdayaan Masyarakat
Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, SBI mengembangkan desa wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Lokasinya memanfaatkan bentang alam kawasan Pulau Curiak serta kearifan lokal masyarakat desa setempat.
Pada praktiknya, SBI memberikan berbagai pelatihan kepada masyarakat seputar bisnis kepariwisataan dan membangun Rumah UMKM dengan dukungan dari berbagai CSR. Untuk mendukung promosi UMKM masyarakat dengan menarik wisatawan dalam dan luar negeri, dibangunlah Bekantan Corner di Bandara Internasional Syamsudin Noor Banjarbaru.
Edukasi Pelestarian Bekantan
Tidak hanya menyasar masyarakat umum, SBI juga memiliki program khusus yang diperuntukkan bagi anak untuk terJun langsung mengenal dan melestarikan bekantan.
Sekolah Konservasi (Global Nature Conservation School) Peduli Bekantan
Sekolah Konservasi adalah program pendidikan non formal berbasis lingkungan yang dinaungi oleh Sahabat Bekantan Indonesia. Konservasi sendiri berarti pelestarian atau perlindungan sumber daya alam untuk dikelola secara teratur demi mencegah kerusakan dan kemusnahan (KBBI Daring). Program ini menyasar anak muda khususnya dari kalangan mahasiswa untuk merasakan langsung dan berkontribusi pada pelestarian bekantan dengan mengikuti kegiatan di Pulau Curiak.
Menurut Dewita, Koordinator Sekolah Konservasi Alam, Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia, sekolah konservasi bertujuan untuk menumbuhkembangkan sikap dan cara berpikir yang positif terhadap sumberdaya alam dan ekosistem serta upaya konservasinya, dalam hal ini di bidang lahan basah.
Di bulan April 2024 lalu, program Sekolah Konservasi diikuti oleh sekitar 60 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang sedang mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Kegiatan ini dilakukan di Pulau Curiak yang menjadi Stasiun Riset Bekantan. Tempat ini dikelola oleh Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) bekerjasama dengan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), dan Pemerintah Daerah Kalsel.
sumber: Kalimantan Post
Mereka bersama-sama belajar di alam untuk mengamati keanekaragaman hayati, khususnya ekosistem lahan basah, demikian kata Dewita. Melalui kegiatan ini, diharapkan generasi muda kedepan akan lebih bijak dalam mengelola sumber daya alam, dan melakukan kegiatan akan selalu berwawasan lingkungan.
Lewat program Sekolah Konservasi, para peserta juga diajak melakukan Plastic War On The River, yaitu kegiatan bersih-bersih sampah di sungai.
Berlanjut di bulan Juni 2024, kali ini sebanyak 20 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mengikuti Sekolah Konservasi Alam di Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak.
sumber: Kalimantan Post
sumber: Instagram @sekolahkonservasi
“Diharapkan peserta yang telah mengikuti kegiatan sekolah konservasi bisa lebih mengenal dan mencintai alam, serta turut aktif membangun mata rantai kepedulian terhadap pelestarian alam,” jelas Amel ketua SBI yang dikutip dari salah satu wawancara bersama media.
Setiap tahunnya, Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak menerima kunjungan mahasiswa dari dalam maupun luar negeri untuk mengikuti program Sekolah Konservasi dan Summer Course. Dr. Amalia Rezeki pendiri Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia, merasa optimis bahwa ke depan Stasiun Riset Bekantan bisa menjadi pusat riset dunia mengenai bekantan dan ekosistem lahan basah. Optimismenya ditunjang dengan publikasi karya ilmiah lebih yang sudah mencapai lebih dari 80 judul.
Apa yang dilakukan oleh Yayasan Sahabat Bekantan melalui Sekolah Konservasi merupakan praktik Tridharma Perguruan Tinggi antara ULM dan SBI. Berbagai macam kegiatan di bidang riset, pendidikan dan pengabdian masyarakat sudah banyak dilakukan sejak kerjasama tersebut terbentuk pada 2015.
Menurut Mellani Yuliastina, SE, M.Ak, Ak, CA selaku dosen Modul Nusantara, di tahun 2024 ini ULM menerima sebanyak 96 mahasiswa program Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang berasal dari 59 perguruan tinggi seluruh Indonesia sebagai implementasi Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM), Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.
Respon dari para peserta pun sangat baik, mereka terlihat antusias dengan program ini, terlebih hal ini menjadi pengalaman pertama bagi sebagian besar dari mereka. Tak hanya duduk menyerap teori, melalui program ini, para peserta mahasiswa diajak untuk praktik langsung yang tentu memberikan kesan tersendiri.
Kegiatan Sekolah Konservasi (15/8/24)
sumber: RRI/Lay Sulaiman
sumber: RRI/Lay Sulaiman
sumber: Instagram @sekolahkonservasi
Setelah berjalan hampir sepuluh tahun, jerih payah komunitas ini menerima penghargaan Kalpataru 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas dedikasinya dalam meningkatkan populasi bekantan dan menambah luas lahan hutan mangrove rambai. Berlanjut di tahun 2023, Yayasan Sahabat Bekantan melalui programnya, Sekolah Konservasi, menerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra. Baru-baru ini, Dr. Amalia juga terpilih menjadi presenter dalam kegiatan The 3rd International Conference on Mathematics, Science and Computer Education yang digelar di Kalimantan Selatan.
Praktik baik yang dilakukan oleh SBI dan Sekolah Konservasi (Global Nature Conservation School) diharapkan dapat diadaptasi atau dikembangkan di daerah-daerah lain di Indonesia dalam rangka mendukung upaya penyelamatan satwa liar sekaligus melestarikan lingkungan untuk mitigasi dampak perubahan iklim. Tentunya dibutuhkan partisipasi semua pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah hingga pihak swasta.
Referensi:
https://www.rri.co.id/banjarmasin/berita-foto/9191/pulau-curiak-global-nature-conservation-school
https://greennetwork.id/kabar/kerja-keras-sbi-selamatkan-bekantan-dan-habitatnya/
Terletak di lokasi strategis Lombok Tengah-Nusa Tenggara Barat, sekolah inovatif kami menempatkan siswa sebagai jantung pembelajaran. Merangkul keunikan setiap anak, kami mendorong rasa ingin tahu melalui eksplorasi yang dipimpin oleh anak. Berakar pada aktivitas berbasis alam, kami membina warga global yang penuh kasih dan percaya diri.
Itulah sekilas tentang Yayasan Anak Alam yang dibangun oleh Baiq Dewi Yuningsih. Rasa prihatin dan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak di lingkungan sekitarnya, Lombok dan Sumbawa, membuatnya tergerak mengadakan kelas belajar di salah satu ruangan rumahnya. Mulanya hanya tiga anak yang diajarnya, kemudian berkembang menjadi 30 anak hingga seluruh area rumahnya dijadikan rumah belajar yang diberi nama Anak Alam.
Kilas balik awal pandemi tahun 2024 lalu memang sangat tak terlupakan. Manusia-manusia di bumi “dipaksa” untuk beradaptasi dengan segala perubahan, mulai dari kebiasaan kesehatan hingga ke pendapatan, salah satunya dengan memakai masker.
Masker menjadi yang sangat dicari pada masanya bahkan sampai menyebabkan harganya melonjak tajam. Masker, khususnya masker medis, juga yang menjadi penyumbang sampah terbesar.
Semasa mahasiswa dulu, menjelajahi pelosok negeri adalah hal yang suka dan tak jarang kulakukan. Mulai dari Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur hingga Sulawesi aku datangi walau masih berstatus mahasiswa, untuk mengabdi, walau hanya 3-14 hari. Dari kegiatan tersebut, wawasan kita tentang kondisi pendidikan dan suku-suku di pedalaman semakin meluas.
Jika pengabdianku hanya hitungan hari, lain halnya dengan orang-orang yang memang sengaja mendedikasikan dirinya. Tak hanya hitungan bukan bahkan bertahun-tahun. Salah satunya adalah Ebib Sandiri, seorang pemuda asal Sumatera.
Suku Talang Mamak adalah kelompok masyarakat yang ditujunya.
Coba lihat produksi sampah harian kita, di antara anorganik dan organik, manakah yang paling banyak?
Jika pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka jawabannya adalah organik. Sebut saja, sisa potongan sayuran, kulit buah, biji buah, kulit bawang dan lain sebagainya, semua termasuk dalam sampah organik.
Memang, dari data yang aku baca, sampah organik menempat posisi top of mind untuk kategori sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia. Eits meskipun begitu pastikan kita bijak membuang sampah-sampah kita ya. Mulai dengan memilah dan menyetorkan ke tempat yang seharusnya; anorganik ke bank sampah dan organik dikompos/dimasukkan ke lubang biopori atau diberikan ke larva black soldier fly alias larva BSF. Apa itu larva BSF? Lalat kah? Kok lalat bisa makan sampah organik?
Plastik adalah kawan, tapi juga bisa jadi lawan. Awal mula terciptanya plastik memang adalah untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun mengapa pada akhirnya justru manusia bermudah-mudah menggunakannya?
Bumi tidak sedang baik baik saja. Ulah manusia menjadi faktor terbesar yang menjadi penyebabnya. Lho kok bisa?
Perubahan Iklim, Gas Rumah Kaca & Jejak Karbon
Jejak karbon. Sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah tersebut. Jejak karbon atau carbon footprint merupakan ukuran jumlah total dari karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya.
Kalau sebagian orang bilang, masa SMA paling berkesan. Bagiku? Masa kuliah, masa penuh kisah. Unforgettable! Di tahun pertama ...