Buah nanas ternyata mendatangkan cuan bukan hanya lewat budidaya dan olahan buahnya, namun juga dari daun nanas yang notabene dianggap limbah. Bagaimana bisa? Siapa yang melakukannya?
Buah nanas ternyata mendatangkan cuan bukan hanya lewat budidaya dan olahan buahnya, namun juga dari daun nanas yang notabene dianggap limbah. Bagaimana bisa? Siapa yang melakukannya?
Semasa kecil, wilayah jangkauanku hanya sekitar Jakarta Selatan. Biarlah saat kuliah di daerah Jakarta Timur aku mulai merambah Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Bagaimana dengan Jakarta Utara? Jujur, baru dua kali aku ke daerah sana tepatnya ke rumah salah seorang teman di daerah Warakas.
Jauh sebelum mengenal gaya hidup minim sampah, aku “akrab” dengan pemakaian styrofoam saat jajan di luar. Aku tidak tahu bahwa bahaya, terlebih jika makanan dalam kondisi panas, mengintaiku!
Kilas balik awal pandemi tahun 2024 lalu memang sangat tak terlupakan. Manusia-manusia di bumi “dipaksa” untuk beradaptasi dengan segala perubahan, mulai dari kebiasaan kesehatan hingga ke pendapatan, salah satunya dengan memakai masker.
Masker menjadi yang sangat dicari pada masanya bahkan sampai menyebabkan harganya melonjak tajam. Masker, khususnya masker medis, juga yang menjadi penyumbang sampah terbesar.
Coba lihat produksi sampah harian kita, di antara anorganik dan organik, manakah yang paling banyak?
Jika pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka jawabannya adalah organik. Sebut saja, sisa potongan sayuran, kulit buah, biji buah, kulit bawang dan lain sebagainya, semua termasuk dalam sampah organik.
Memang, dari data yang aku baca, sampah organik menempat posisi top of mind untuk kategori sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia. Eits meskipun begitu pastikan kita bijak membuang sampah-sampah kita ya. Mulai dengan memilah dan menyetorkan ke tempat yang seharusnya; anorganik ke bank sampah dan organik dikompos/dimasukkan ke lubang biopori atau diberikan ke larva black soldier fly alias larva BSF. Apa itu larva BSF? Lalat kah? Kok lalat bisa makan sampah organik?
Selama datang bulan Oktober! Bulan dimana normalnya musim penghujan sudah tiba sejak bulan Agustus-September, namun kenyataannya? Ya, kemarau masih berkepanjangan. Tak hanya di Jabodetabek namun merata di seluruh Indonesia. Satu pertanyaan yang langsung muncul di otakku; bumiku kenapa??
Apakah kalian juga punya pertanyaan yang sama?
"Lho, lho apa hubungannya kondisi bumi dengan kekeringan?!"
Beberapa tahun lalu, setiap kali mendengar berita tentang kebakaran hutan dan lahan, aku cenderung "tidak peduli". Mungkin hal ini karena rasa empat iki yang kurang, dan juga wilayah tempat tinggal lu yang notabene jauh dari kawasan hutan. Apakah kalian juga begitu?
Tapi semenjak menerapkan hidup lebih ramah lingkungan di tahun 2020, aku tak lagi menutup telinga. Setidaknya empatiku muncul, seperti yang terjadi beberapa hari lalu.
Saat itu aku membaca sebuah berita kebakaran lahan.
Tapi... Apakah ada yang bisa dilakukan oleh manusia yang hidup jauh dari kawasan hutan untuk mencegah Karhutla?
Nyatanya ADA!
Sejak duduk di bangku kuliah, aku mulai terjun ke dunia energi baru dan terbarukan. Apakah maksudnya aku adalah mahasiswi jurusan tersebut? Sayang sekali jawabannya bukan, hehe.
Aku adalah mahasiswi pendidikan Matematika, Fakultas MIPA yang kebetulan punya ketertarikan soal sains sampai akhirnya mulai menulis esai dan paper yang berkaitan dengan energi baru terbarukan. Mulai dari energis surya, panas bumi hingga biogas dan biomasa.
Saat itu aku tidak terlalu aware dengan dampak positif ke lingkungan yang ditimbulkan dari kehadiran energi tersebut. Salah satunya mengurangi jejak karbon di bumi. Seperti yang kita tahu, singkatnya, jejak karbon menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya bagi para penghuni bumi.
Sampai tiba hari ini aku semakin menyadari...
Makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Itulah yang menjadi prinsipku selama ini.
Kalau sebagian orang bilang, masa SMA paling berkesan. Bagiku? Masa kuliah, masa penuh kisah. Unforgettable! Di tahun pertama ...